![]() |
Ilustrasi AI |
Lentera Biru, (04/06). Pada
Senin, 26 Mei 2025, pemerintah Indonesia secara resmi mengesahkan alih status
11 Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) di bawah Kementerian Agama.
Sembilan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) bertransformasi menjadi Universitas
Islam Negeri (UIN), satu Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) menjadi
IAIN, dan satu Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) menjadi Institut Agama
Hindu Negeri (IAHN). Penyerahan Surat Keputusan (SK) Presiden menandai tonggak
penting dalam reformasi pendidikan tinggi berbasis agama di Indonesia .
Transformasi ini mencakup
kampus-kampus seperti UIN Syekh Wasil Kediri, UIN Sunan Kudus, UIN Madura, UIN
Jurai Siwo Lampung, UIN Palangka Raya, UIN Palopo, UIN Abdul Muthalib Sangadji
Ambon, UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari
Ponorogo, IAIN Datuk Laksamana Bengkalis (dari STAIN), dan IAHN Mpu Kuturan
(dari STAHN).
Presiden Republik
Indonesia, melalui Wakil Menteri Sekretaris Negara Juri Ardiantoro,
menyampaikan bahwa transformasi ini tidak boleh berhenti pada perubahan
nomenklatur semata. Presiden menekankan pentingnya peningkatan tata kelola,
kurikulum, dan kompetensi lulusan agar PTKN mampu bersaing di tingkat global. "Transformasi
IAIN menjadi UIN tidak boleh berhenti di nomenklatur. PTKN harus mencetak
lulusan yang adaptif, analitis, kolaboratif, dan siap menghadapi tantangan
energi, digitalisasi, dan ketahanan pangan," ujar Juri.
Menteri Agama Nasaruddin
Umar juga menyoroti pentingnya peningkatan mutu pendidikan dan pengembangan
program-program yang relevan dengan kebutuhan zaman. Beliau berharap 11 kampus
yang bertransformasi ini dapat menjadi contoh bagi perguruan tinggi lain dalam
menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan ketuhanan. "Kita sampaikan
kepada para rektor, ini kan statusnya naik maka harus mampu mempertahankan
akhlakul karimah," ujar Nasaruddin.
Namun yang menarik adalah
di balik semangat transformasi ini, muncul pertanyaan kritis dari berbagai
kalangan. Khsusunya kalangan akademisi mempertanyakan Apakah perubahan status ini akan diikuti
dengan peningkatan kualitas pendidikan yang signifikan? Ataukah hanya sekadar
formalitas administratif tanpa perubahan substansial?
Beberapa akademisi
mengingatkan bahwa transformasi institusi pendidikan tidak hanya tentang
perubahan nama, tetapi juga harus mencakup perubahan paradigma, peningkatan
kualitas sumber daya manusia, dan penyesuaian kurikulum yang relevan dengan
kebutuhan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Transformasi status 11
kampus Islam menjadi UIN dan IAIN bukanlah sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk saat ini. Bahkan ini menjadi suatu titik awal dari Pekerjaan Rumah (PR) yang lebih kompleks dan meluas. Di satu
sisi, pemerintah menaruh harapan besar agar lembaga-lembaga ini menjadi poros
keilmuan yang unggul secara spiritual dan rasional. Di sisi lain publik
menuntut bukti bahwa perubahan nama membawa perubahan nyata baik dalam kualitas
pembelajaran, integrasi ilmu, hingga rekam jejak lulusannya di dunia
profesional.
Tanpa strategi pengembangan yang matang, transformasi ini berisiko menjadi simbolik semata perubahan struktur tanpa pembaruan substansi. Kampus yang dulu menjadi benteng pemikiran Islam, kini ditantang untuk tidak hanya mewarnai wacana keagamaan, tetapi juga menjawab persoalan sains, teknologi, dan kemanusiaan. Pertanyaannya sejauh apakah mereka siap? Sejauh mana fasilitas yang disediakan kampus-kampus keagamaan dalam menjawab persoalan-persoalan tadi? atau justru ini salah satu siasat dari Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri untuk bisa mendapatkan sorotan lebih tanpa mempertimbangkan kualitas yang akan dibangun. Perihal PR nantinya tidak beres, tinggal minta maaf kepada publik dan tanpa malu para pejabat kampus tetap meneruskan buang-buang anggaran untuk hal-hal yang tidak penting tanpa melakukan evaluasi.
Jika tidak hati-hati alih status ini justru dapat mengikis keunggulan khas PTKN sebagai penjaga nilai-nilai etika dan spiritual dalam pendidikan tinggi. Maka, lebih dari sekadar label baru UIN dan IAIN masa kini dituntut untuk menyusun ulang identitas akademiknya menyeimbangkan akal dan iman, riset dan moralitas, modernitas dan makna. Sebab di sinilah tantangan sejati dari sebuah transformasi bukan mengganti nama, tapi membuktikan sejauh mana kualitas yang berhasil dibentuk dari Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri itu sendiri.
Penulis : Syafrial A
Posting Komentar