![]() |
Ilustrasi AI |
Lentera Biru, (16/06). Momentum serangan yang diawali oleh Israel ke situs militer strategis Iran, balasan Iran menuai respons emosional dari Tel Aviv. PM Netanyahu menyebut negaranya “paling tersakiti”. Narasi ini mengemuka di panggung diplomatik, seolah Israel bukan pelaku, melainkan korban. Tapi realitasnya tidak sesederhana itu.
Tel Aviv kembali menangis. Serangan balasan Iran yang menghujani langit Israel dengan rudal dan drone membuat pemerintah Netanyahu segera mengangkat narasi lama: “kami diserang, kami tersakiti.” Dunia internasional diminta berempati, Barat bersatu mengecam, dan media global tak henti memutar gambar anak-anak Yahudi berlarian ke tempat perlindungan. Tapi satu pertanyaan mendesak muncul bukankah semua ini berawal dari serangan mendadak Israel ke jantung militer Iran ?
Pada 13 Juni 2025, Israel melancarkan operasi udara terkoordinasi ke sejumlah fasilitas militer strategis Iran di Isfahan, Shiraz, dan Natanz. Pemerintah Iran mengklaim sedikitnya 37 personel militernya tewas, termasuk beberapa teknisi nuklir. Tak berselang lama, Iran membalas lewat operasi “True Promise III” dengan lebih dari 170 drone dan rudal jarak menengah yang ditujukan ke wilayah militer dan sipil Israel. Meskipun sistem pertahanan Iron Dome berhasil menggagalkan sebagian besar serangan, beberapa wilayah di sekitar Tel Aviv dan Haifa mengalami kerusakan serius.
Namun yang menarik bukan hanya aspek militer dari konflik ini, melainkan bagaimana narasi publik dibentuk dan diarahkan. Israel, seperti yang terjadi dalam konflik-konflik sebelumnya, segera memainkan peran sebagai korban. Dalam pernyataannya kepada CNN International, PM Benjamin Netanyahu menyatakan, “Israel adalah korban kebiadaban teroris yang didukung negara. Kami hanya mempertahankan hak kami untuk hidup.” (CNN, 14 Juni 2025).
Pernyataan ini menuai respons tajam dari beberapa analis internasional. Trita Parsi, pendiri Quincy Institute for Responsible Statecraft, menyebut pernyataan Netanyahu sebagai bentuk pengalihan tanggung jawab. “Israel menyerang lebih dulu dan melanggar hukum internasional. Ketika Iran membalas, tiba-tiba mereka menampilkan diri sebagai pihak yang dianiaya. Ini pola retoris yang sudah berulang sejak konflik dengan Lebanon, Suriah, hingga Gaza,” ungkapnya kepada Al Jazeera.
Media Barat seperti The New York Times dan BBC secara konsisten menekankan “ketakutan warga Israel” tanpa membahas konteks awal serangan. Sementara korban di pihak Iran, termasuk warga sipil sekitar pangkalan militer yang terkena rudal, hampir tak disebut. Bahkan Dewan Keamanan PBB yang menggelar sidang darurat 15 Juni lalu, tak mampu mengeluarkan resolusi kecaman karena veto dari AS dan Inggris.
Sikap standar ganda ini memicu reaksi tajam dari negara-negara Selatan Global. Menteri Luar Negeri Brasil, Mauro Vieira, dalam forum BRICS+ menyatakan, “Kita tidak bisa membenarkan tindakan satu negara yang menyerang lebih dulu, lalu menuntut simpati saat dibalas. Dunia harus objektif dalam menilai agresi.” (Reuters, 15 Juni 2025).
Di Indonesia, pengamat hubungan internasional dari UI, Hikmahanto Juwana, menyebut bahwa “Israel terlalu sering berhasil mengendalikan framing konflik dengan modal lobi dan pengaruh di media internasional. Padahal, dari perspektif hukum internasional, serangan pertama tanpa mandat PBB adalah bentuk agresi.”
Ketimpangan framing inilah yang membuat opini publik internasional terpolarisasi. Di satu sisi, Israel tampak menderita; di sisi lain, Iran dianggap barbar hanya karena membalas. Padahal, esensi keadilan konflik adalah menakar siapa yang memicu eskalasi, bukan hanya siapa yang menangis lebih keras.
Israel sekali lagi menunjukkan keahliannya dalam mengelola narasi global, memutarbalikkan posisi sebagai penyerang menjadi korban. Dalam dunia yang dikuasai oleh opini dan citra, air mata Tel Aviv tampaknya lebih “berharga” ketimbang darah di Isfahan. Namun, jika dunia terus membiarkan standar ganda ini berlangsung, maka keadilan internasional bukan hanya mati, tetapi sudah dikubur hidup-hidup oleh diplomasi empati yang penuh kepalsuan.
Penulis : Syafrial A
Posting Komentar