Lentera Biru,
(22/06). Kolaborasi antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Timur dan
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya dalam program bertajuk
“Laskar Wakaf” telah resmi diluncurkan pada 10 Juni 2025. Disampaikan langsung
Rektor Prof. Akh. Muzakki, ribuan mahasiswa semester enam dikabarkan akan
diterjunkan dalam pelaksanaan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari,
dimulai pada 16 Juni 2025. Sekilas, program ini terlihat sebagai inovasi kebijakan
pengabdian masyarakat yang menjanjikan. Mahasiswa membantu negara dalam
menginventarisasi dan menyertifikasi tanah wakaf sebuah problem struktural yang
tak kunjung tuntas. Namun jika dikaji lebih dalam, apa yang disebut kolaborasi
ini menyimpan kecacatan mendasar dalam hal etik, filosofi pendidikan, hingga
keberpihakan sosial.
Alih-alih menjadi program
transformatif, “Laskar Wakaf” justru terancam menjadi simbol banal dari
birokratisasi pengabdian dan eksperimentasi kebijakan tanpa dialog. Ratusan
mahasiswa ditugaskan bukan di desa mereka sendiri, melainkan di wilayah asing,
tanpa jaminan akomodasi, pembiayaan transportasi, atau ketersediaan logistik
dasar yang layak. Mereka diposisikan seolah agen negara yang bekerja tanpa
kontrak, tanpa kompensasi, dan tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Pertanyaannya sederhana, di manakah letak keadilan dalam sebuah pengabdian yang
justru menindas yang mengabdi?
Secara filosofis, program
ini melanggar prinsip dasar pendidikan tinggi sebagai ruang pembebasan.
Pendidikan, sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire, tidak boleh menjelma
sebagai proses domestikasi, di mana mahasiswa hanya menjadi “obyek pelaksana”
dari rencana-rencana elite kampus dan mitra eksternal. Ketika Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) UINSA
menyusun kebijakan KKN ini tanpa membuka ruang deliberatif dengan mahasiswa
sebagai subjek utama, maka institusi tersebut telah menutup kemungkinan
tumbuhnya nalar partisipatif dalam proses pendidikan. Padahal, tri dharma
perguruan tinggi menuntut bahwa pengabdian masyarakat bukan hanya tentang
memberi, melainkan juga mendengarkan dan memahami.
Dalam kerangka keadilan
sosial, situasi ini menunjukkan bentuk eksploitasi struktural yang tidak lagi
samar. Mahasiswa dibebani tugas teknis yang sejatinya merupakan tanggung jawab
profesional pendataan tanah, pengarsipan administratif, pelaporan geospasial namun
mereka tidak diupah, tidak diberi pelatihan teknis mendalam, dan tidak
dilindungi jika terjadi kecelakaan atau konflik di lapangan. Mereka diminta
menunaikan kerja birokrasi negara, tetapi tanpa status kerja, tanpa
perlindungan sosial, dan tanpa pengakuan legal. Ini bukan pengabdian, ini
bentuk kerja paksa terselubung yang dibungkus dalam jargon kampus religius.
Kebijakan ini makin
problematik ketika melihat konteks sosiologis mahasiswa. Banyak dari mereka
berasal dari latar keluarga menengah ke bawah, yang secara finansial sudah
terbebani oleh biaya hidup dan perkuliahan. Kini, mereka harus menanggung beban
logistik untuk menjalankan program yang tak mereka rancang dan tak mereka
pilih. Di sinilah letak kegagalan LP2M UINSA, alih-alih menjadi fasilitator
pembelajaran yang berempati terhadap realitas mahasiswa, lembaga ini malah
menjadi perpanjangan tangan proyek institusional yang abai terhadap keadilan
sosial.
Ironisnya, kebijakan ini
justru diluncurkan dengan simbolisme besar di Sport Center kampus ruang mewah
yang penuh selebrasi, tetapi kosong dari partisipasi. Mahasiswa tidak pernah
diajak bicara dalam merumuskan bentuk pengabdian ini, tidak pernah dimintai
persetujuan, dan tidak diberi ruang menolak atau memodifikasi bentuk KKN sesuai
konteks lokal mereka. Jika kampus masih menepuk dada sebagai institusi pembina
generasi intelektual, maka cara-cara otoriter semacam ini harus segera
ditinggalkan.
Realitas di lapangan
membuktikan bahwa mahasiswa bukan hanya kehilangan kontrol atas program KKN,
mereka juga kehilangan makna personal dan kultural dari pengabdian itu sendiri.
Ketika mereka dipaksa bertugas di desa yang tidak mereka kenal, dengan masyarakat
yang asing, maka seluruh aspek keberdayaan dari empati sosial hingga kecakapan
komunikasi menjadi tumpul. Yang tersisa hanyalah kerja teknis, penuh tekanan,
dan terasing dari nilai-nilai keilmuan maupun kebermaknaan spiritual yang
semestinya menyertai aktivitas pengabdian.
Dalam terang semua ini,
UINSA perlu melakukan refleksi mendalam. LP2M sebagai penyusun kebijakan harus
kembali ke ruh awal tridharma perguruan tinggi bukan sebagai eksekutor
kebijakan luar, tetapi sebagai penjaga etika dan kualitas intelektual
mahasiswa. Rektorat pun wajib meninjau ulang seluruh struktur pengambilan
kebijakan yang hari ini berjalan secara top-down dan elitis. Kampus
bukan pabrik kader birokrasi, bukan pula ladang kerja paksa gratis untuk
menyokong program kementerian atau lembaga eksternal.
Jika pengabdian
masyarakat adalah pilar dari eksistensi perguruan tinggi, maka pilar itu harus
dibangun di atas fondasi partisipasi, keadilan, dan penghormatan terhadap
martabat mahasiswa. Mahasiswa bukan alat proyek. Mereka adalah insan merdeka
yang sedang belajar menjadi warga dunia yang adil dan beradab. Maka jangan
reduksi mereka menjadi kuli negara, yang bekerja tanpa suara dan tanpa
perlindungan.
Bila UINSA benar-benar
ingin menjadi Universitas yang menjunjung nilai-nilai keislaman, kemanusiaan,
dan keilmuan, maka sudah saatnya ia berhenti membuat kebijakan dalam ruangan
tertutup dan mulai mendengar suara dari bawah. ‘Suara mahasiswa, suara
keadilan.” Sebab di situlah letak derajat sejati dari Universitas bukan pada
megahnya proyek, tetapi pada keberpihakan terhadap yang lemah. Dan hari ini,
yang dilemahkan adalah mahasiswanya sendiri.
Posting Komentar