no fucking license

Archive

Middle

Lorem lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed tempor and vitality, so that the labor and sorrow, some important things to do eiusmod. For now passes from soccer.
64y6kMGBSVhmzQfbQP8oc9bYR1c2g7asOs4JOlci

Recent

Bookmark

Tanpa Filsafat, Kita Hanya Robot dengan Kuota

Sumber: JawaPos
Pernyataan Ferry Irwandi yang menyarankan agar jurusan filsafat dihapuskan dari dunia pendidikan tinggi jelas merupakan cerminan dari krisis cara berpikir yang cukup serius. Di tengah era kecanggihan teknologi dan maraknya konten digital, muncul suara yang seolah mewakili semangat pragmatisme semu: hanya yang langsung menguntungkan secara finansial yang dianggap penting, sementara yang membentuk karakter berpikir dan kesadaran justru dipinggirkan.

Padahal, filsafat bukan sekadar jurusan kuliah yang mempelajari konsep-konsep rumit. Ia adalah landasan dari seluruh ilmu pengetahuan, tempat kita belajar untuk bertanya secara radikal, berpikir secara kritis, dan memahami dunia secara mendalam. Menghapus filsafat dari dunia akademik sama seperti mencabut akar pohon pengetahuan dan berharap pohon itu tetap tumbuh. Mustahil.

Pernyataan seperti yang diucapkan Ferry mencerminkan kegagalan memahami fungsi dasar pendidikan. Pendidikan tidak semata-mata soal "output kerja" atau seberapa cepat seseorang menghasilkan uang. Pendidikan adalah proses membentuk manusia menjadi subjek yang berpikir, bukan sekadar alat produksi. Dan filsafat, sebagai disiplin ilmu yang menelaah eksistensi, etika, hingga hakikat kebenaran, adalah inti dari proses tersebut.

Ironisnya, justru di tengah kemajuan teknologi dan melimpahnya akses informasi, kemampuan berpikir yang mendalam semakin dibutuhkan. Tanpa filsafat, kita hanya menjadi informasi konsumen, bukan pengolahnya. Kita hanya menjadi robot yang sekadar menyampaikan ulang data, tanpa kesadaran, tanpa kepekaan, dan tanpa kebijaksanaan. Mungkin kita punya kuota, tapi kita kehilangan makna.

Filsafat membekali kita untuk menghadapi kerumitan hidup dengan akal sehat dan keberanian moral. Ia mengajarkan bahwa tidak semua hal harus diukur dengan angka dan efisiensi. Ada hal-hal yang memerlukan perenungan, pertimbangan etis, dan pemahaman akan martabat manusia. Hal-hal ini tidak diajarkan dalam video berdurasi satu menit.

Maka ketika ada seorang kreator konten—yang jelas punya pengaruh di ruang publik—mengusulkan penghapusan judul filsafat, ini bukan sekadar opini, tapi gejala yang memprihatinkan dari gelombang anti-intelektualisme yang sedang tumbuh. Sebuah zaman dengan kecepatan yang mengalahkan kedalaman, dan popularitas yang lebih diutamakan daripada kebenaran.

Ferry mungkin tidak sadar bahwa dalam setiap produksinya, dalam setiap argumen konten yang ia bangun—sebenarnya ia sedang menggunakan alat berpikir yang dipertajam oleh tradisi filsafat. Ketika ia berbicara tentang ide, ia sedang bersentuhan dengan epistemologi. Ketika ia menilai baik atau buruk, ia bersinggungan dengan etika. Ketika ia menyusun narasi, ia tak lepas dari logika.

Maka, menghapus filsafat bukan hanya membunuh satu jurusan kuliah. Itu adalah usaha yang membungkam daya kritis manusia. Dan manusia yang kehilangan filsafat, adalah manusia yang menyerupai robot: bekerja, berbicara, bahkan merasa, namun tak pernah benar-benar berpikir.

Posting Komentar

Posting Komentar