Lentera Biru, (09/12). Indonesia menghadapi perubahan iklim
yang kian drastis setelah sekitar 10 juta hektar hutan hilang dalam 20 tahun
terakhir, memicu kenaikan suhu lokal, perubahan pola hujan, dan gangguan
ekosistem. Deforestasi yang dipacu ekspansi perkebunan, penebangan, dan alih
fungsi lahan ini menimbulkan pertanyaan mendesak tentang bagaimana negara
merespons krisis iklim yang dampaknya kini dirasakan masyarakat di berbagai
wilayah.
Menurut laporan terbaru, deforestasi
di Indonesia kembali meningkat pada 2024. Sebuah lembaga lingkungan
non-pemerintah NGO Auriga Nusantara mencatat bahwa deforestasi terjadi akibat
kombinasi ekspansi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, serta konversi lahan
untuk pembangunan industri (thejakartapost.com, 01/02/2025).
Dalam konteks ini, aspek iklim mikro
mulai mendapat sorotan. Sejumlah studi dan pemantauan global telah menunjukkan
bahwa kehilangan hutan terutama hutan primer tropis berdampak pada fungsi
regulasi iklim lokal, termasuk siklus hidrologi, kelembapan, dan suhu
(kompas.id).
“Hutan tropis berperan penting dalam
menjaga kelembapan tanah dan atmosfer ketika tutupan hutan hilang, kita melihat
pola curah hujan menurun dan periode kekeringan meningkat,” kata Callum Smith,
peneliti dari University of Leeds (kompas.id).
Sementara itu, berdasarkan data
global, deforestasi terus memberi tekanan pada stabilitas iklim dan kebakaran
hutan menjadi salah satu penyebab utama penggundulan hutan di tahun-tahun
belakangan (wri-indonesia.org).
Para ahli iklim dan ekolog
menyatakan bahwa efek deforestasi terhadap iklim mikro akan terasa paling berat
di daerah pinggiran hutan dan komunitas lokal yang tergantung pada sumber daya
alam. Meski upaya reforestasi dan kebijakan konservasi telah dilakukan oleh
pemerintah, para peneliti mengingatkan bahwa hutan primer yang hilang sulit
tergantikan sehingga dampak terhadap suhu, curah hujan, dan siklus air bisa
permanen.
Menurut laporan dari lembaga
lingkungan dan riset kehutanan, kenaikan suhu lokal dan perubahan pola hujan
telah mulai tercatat di beberapa lokasi yang menjadi “deforestation hotspot.”
Masyarakat di daerah tersebut melaporkan musim kemarau yang lebih panjang,
penurunan cadangan air, dan ketidakpastian dalam pertanian sebagai konsekuensi
hilangnya tutupan hutan.
Para pakar memperingatkan bahwa dampak ini bukan hanya soal perubahan lingkungan abstrak, tetapi langsung menyentuh kehidupan manusia dari mata pencaharian hingga resiliensi sosial terhadap cuaca ekstrem. Mereka mendesak agar kebijakan kehutanan nasional tidak hanya fokus pada kuantitas tutupan hutan, tetapi juga pada kualitas ekosistem, fungsi ekologis, dan keberlanjutan iklim mikro jangka panjang.
Penulis : Dennia Shinenauky Niza



Posting Komentar