![]() |
Gambar : Lentera Biru |
Indonesia dalam kepemimpinan Prabowo Subianto belum ada setengah tahun menjabat, kembali digemparkan dengan masalah yang cukup serius, Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) diusulkan masuk Prolegnas Prioritas 2025 setelah muncul Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025.
Parahnya
pemerintah memaksakan revisi RUU tersebut bisa selesai sebelum masa reses DPR
RI yakni Jum’at 21 Maret 2025 atau libur lebaran tahun ini. Di tengah bulan
Ramadhan rakyat sedeng menjalankan ibadah puasa pemerintah justru memberikan
kado pahit yakni ketakutan akan kembalinya lagi dwifungsi ABRI sepertihalnya
masa kelam indonesia sebelum reformasi, ketakutan akan tindakan militerisme
terhadap rakyat terulang lagi jika TNI diberikan hak dalam kepemerintahan.
Kalau
kita berkaca pada polemik sebelumnya dalam menyususn rancangan undang-undang,
seperti halnya penyusunan UU Omnibus Law dirapatkan secara tertutup tanpa
adanya partisipasi lapisan masyarakat entah itu dari kelas buruh, petani dan
mahasiswa padahal merekalah yang menjadi objek pembahasan dalam undang
tersebut. Keterlibatan publik dalam menyususn Undang-undang diatur dalam UUNo.
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan. Adapun
keterlibatan publik ini dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis, namun
dalam hal RUU TNI ini sepata kata pun tidak terucap dari kalangan elit yang
dilontarkan kepada rakyat.
Revisi
tersebut memang menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak, terutama dari
kalangan organisasi hak asasi manusia. Mereka berpendapat bahwa penambahan usia
dinas keprajuritan serta perluasan peran militer dalam jabatan sipil dapat
berpotensi menggangu tatanan demokrasi yang telah terbentuk setelah reformasi.
Salah satu ketakutannya adalah kembalinya dominasi militer dalam ranah politik,
yang di masa Orde Baru dikenal dengan dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia), yang dianggap sebagai bentuk militerisme yang meresap
dalam struktur pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat.
Ketakutan
ini tidak tanpa alasan, mengingat sejarah masa lalu di mana militer memiliki
peran yang sangat besar dalam kebijakan negara, yang sering kali mengabaikan
prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, banyak pihak
yang mendorong untuk adanya pembatasan yang tegas terhadap peran militer dalam
sektor sipil agar tidak mengancam demokrasi yang sudah berkembang
pasca-reformasi.
Jika
kita telisik secara sejarah ketika era orde baru sebelum adanya Reformasi dwi
fungsi ABRI memberikan gambaran secara jelas, bagaimana keterlibatannya
terhadap rakyat sipil menjadi sebuah polemik yang memberantas hak rakyat
seperti peristiwa Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Trisakti, Semanggi I,
dan Semanggi II (1998-1999), Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara
Paksa 1997-1998, Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).
Adanya
reformasi seharusnya peristiwa pelanggaran HAM seperti di atas tidaklah
terulang lagi, akan tetapi fakta yang terjadi di lapangan tidak seperti apa
yang diharapkan oleh cita-cita reformasi. KontraS menyebutkan terdapat 64
peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI dalam rentang satu tahun
terakhir di 2024. Bahkan sering dijumpai aparat TNI sering dijadikan penguasa
sebagai alat untuk merampas paksa tanah rakyat.
Pasal yang menjadi sorotan dalam revisi UU ini
memang sangat signifikan dan berpotensi menimbulkan perdebatan, baik di
kalangan masyarakat maupun di lembaga legislatif. Berikut ini penjelasan lebih
rinci mengenai ketiga pasal tersebut: Pasal 3 mengatur kedudukan TNI di bawah
Presiden untuk pengerahan kekuatan militer dan koordinasi dengan Kementerian
Pertahanan. Pasal 47 memperluas keterlibatan TNI dalam 15 instansi sipil, dari
yang sebelumnya 10, termasuk lembaga seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan
dan Kejaksaan Agung. Pasal 53 mengubah usia pensiun perwira TNI menjadi 60
tahun, dan bintara/tamtama menjadi 58 tahun.
Revisi
ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan dan kekhawatiran, terutama terkait
dengan potensi meningkatnya dominasi militer dalam kehidupan politik dan sipil
Indonesia, yang bisa berisiko mengembalikan pola hubungan yang lebih
militaristik seperti di era Orde Baru.
Penulis : MZ. Dhiyaul Haq (Biro Hubungan dan Komunikasi Gerakan, Kepemudaan dan Perguruan Tinggi) PC PMII Kota Surabaya
Posting Komentar