no fucking license

Archive

Middle

Lorem lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed tempor and vitality, so that the labor and sorrow, some important things to do eiusmod. For now passes from soccer.
64y6kMGBSVhmzQfbQP8oc9bYR1c2g7asOs4JOlci

Recent

Bookmark

"Gandolan" Sarung Xi Jinping, Kemasan Investasi Isinya Ketergantungan

Ilustrasi AI

Lentera Biru, (25/05). Istilah “Gandolan” dalam konteks budaya populer Indonesia menggambarkan sikap bergantung secara berlebihan, menumpang, atau tidak mandiri. Tulisan ini, mencoba untuk menyoroti sisi kritis melalui bahasa yang akrab didengar orang Indonesia khusunya Jawa. “Gandolan Sarung Xi Jinping” dipakai untuk menggambarkan kondisi Indonesia yang tampaknya terlalu melekat dan bergantung pada Tiongkok dalam berbagai sektor strategis dari infrastruktur, investasi energi, hingga pengelolaan sumber daya alam (SDA).

Baru-baru ini Indonesia dan Tiongkok kembali melakuakn pertemuan. Tepatnya pada Sabtu 24 Mei 2025. Pembahasan dalam pertemuan ini antara lain adalah Penguatan multilateralisme, Integrasi Industri dan Transfer Teknologi, Kerja Sama Strategis dan Peringatan 75 Tahun Hubungan Diplomatik.

Hubungan antara Indonesia dan Tiongkok memiliki akar sejarah yang panjang, dimulai sejak abad ke-5 melalui jalur perdagangan maritim yang menghubungkan kedua wilayah. Namun, hubungan diplomatik resmi baru terjalin pada 13 April 1950, menjadikan Indonesia sebagai negara Asia Tenggara pertama yang mengakui Republik Rakyat Tiongkok. Memasuki abad ke-21, kerja sama bilateral semakin erat dengan penandatanganan kemitraan strategis pada 2005, yang mencakup sektor ekonomi, keamanan, dan budaya. Dalam bidang ekonomi, Tiongkok telah menjadi salah satu mitra dagang terbesar bagi Indonesia, dengan investasi yang signifikan dalam proyek infrastruktur seperti pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.

Di balik kemitraan strategis ini, muncul pertanyaan kritis mengenai ketergantungan Indonesia terhadap Tiongkok, terutama dalam konteks investasi dan pembangunan infrastruktur.

Hal itu dapat dilihat dalam dua dekade terakhir, hubungan ekonomi antara Indonesia dan Tiongkok mengalami pertumbuhan yang signifikan. Tiongkok telah menjadi mitra dagang terbesar Indonesia selama lebih dari satu dekade, dengan nilai perdagangan bilateral mencapai US$149,09 miliar pada tahun 2022, meningkat 19,8% dari tahun sebelumnya. Pada tahun tersebut, ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai US$77,77 miliar, sementara impor dari Tiongkok sebesar US$71,32 miliar.

Ketergantungan ini tidak hanya terlihat dalam perdagangan, bisa juga dalam investasi. Pada tahun 2023, Tiongkok menjadi investor asing terbesar kedua di Indonesia, dengan nilai investasi mencapai US$7,4 miliar, meningkat tajam dari US$173,6 juta pada tahun 2010. Investasi ini mencakup berbagai sektor strategis, termasuk energi terbarukan, teknologi, dan infrastruktur. Proyek infrastruktur besar yang didanai oleh Tiongkok belakangan ini adalah kereta cepat Jakarta-Bandung, yang merupakan bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI). Proyek ini, meskipun menghadapi tantangan seperti pembengkakan biaya dan keterlambatan, menandai keterlibatan mendalam Tiongkok dalam pembangunan infrastruktur Indonesia.

Melihat hubungan ekonomi Indonesia dengan Tiongkok, pendekatan teori ketergantungan yang dikembangkan oleh ekonom Brasil, Theotonio dos Santos, memberikan kerangka kritis untuk memahami dinamika ketergantungan struktural yang sangat mungkin terjadi. Dos Santos mendefinisikan ketergantungan sebagai situasi di mana ekonomi suatu negara dikondisikan oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi negara lain yang dominan, sehingga pembangunan negara yang bergantung menjadi subordinat terhadap kebutuhan dan kepentingan negara dominan tersebut.

Ketergantungan semacam ini dapat menghambat pencapaian visi "Indonesia Emas 2045", yang bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju yang mandiri secara ekonomi. Jika ketergantungan terhadap Tiongkok terus berlanjut tanpa strategi diversifikasi dan penguatan kapasitas domestik, Indonesia berisiko mengalami stagnasi pembangunan dan kehilangan kedaulatan ekonomi.

Sangat ideal ketika melihat segala potensi SDA yang dimiliki, Indonesia tidak semestinya “gandolan” sarung Xi Jinping. Sebaliknya, Indonesia harus mampu berdiri di atas kaki sendiri membangun industri pengolahan dalam negeri, melakukan hilirisasi sebagaimana konsep yang diusung oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ketika masa kampanye yang menginginkan berkeadilan, dan membentuk kemitraan ekonomi yang sejajar bukan relasi antara pemilik modal dan penerima utang.

Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang paling banyak didatangi investor asing, melainkan bangsa yang mampu mengelola kekuatannya sendiri. Indonesia memiliki semua sumber daya untuk menjadi bangsa besar, namun tanpa keberanian melepaskan diri dari ketergantungan, semua cita-cita hanya akan menjadi mimpi kosong yang dibungkus kemasan investasi. Jadi sudah saatnya Indonesia melepaskan gandolan sarung Xi Jinping dan menjahit sendiri kain kemajuan yang berpijak pada kekuatan sendiri. Karena Indonesia yang mandiri adalah syarat utama bagi Indonesia yang berdaulat dan bermartabat menuju Indonesia Emas 2045.


Penulis : Syafrial A.

Posting Komentar

Posting Komentar