![]() |
Ilustrasi AI |
Lentera Biru, (22/05). Pernyataan seorang kreator konten asing di TikTok, Bigmo, yang menyebut Surabaya sebagai “kota paling L” atau the most L city in Indonesia, telah memicu polemik di ruang digital. Istilah “L” merujuk pada kata loss atau kekalahan secara implisit mengandung makna peyoratif, dan dinilai merendahkan kota terbesar kedua di Indonesia tersebut. Unggahan berdurasi 30 detik itu berisi keluhan mengenai buruknya sinyal internet, jauhnya lokasi mal, hingga minimnya kreator lokal yang dapat diajak kolaborasi. Meskipun disampaikan secara informal, dampaknya menjadi sangat luas.
Pakar komunikasi digital Universitas Indonesia, Dr. Intan Mahastuti, menilai bahwa insiden ini menggambarkan krisis representasi kota di era algoritma. “Citra kota tidak lagi dibentuk melalui riset, media massa, atau pengalaman komunal, melainkan oleh narasi instan yang viral,” katanya. Menurut Intan, saat opini sepihak menjadi konsumsi publik tanpa konteks, yang terjadi adalah reduksi identitas: kota dengan sejarah, budaya, dan dinamika sosial yang kompleks disederhanakan menjadi stereotip negatif.
Respons pemerintah daerah datang dari Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji. Ia menilai klaim tersebut tidak berdasar. “Surabaya kota besar dengan luas lebih dari 300 kilometer persegi. Perjalanan antarlokasi wajar memakan waktu 30 menit,” ujarnya. Ia juga menyebut kota ini telah memiliki infrastruktur 5G yang terus ditingkatkan. Figur publik seperti Chef Arnold turut bersuara, menegaskan bahwa Surabaya memiliki banyak kreator lokal dan potensi kolaborasi.
Dosen Sosiologi Perkotaan dari Universitas Airlangga, Dr. Bagas Pradipta, melihat fenomena ini sebagai refleksi ketimpangan antara realitas dan persepsi digital. “Konten viral tidak merepresentasikan kebenaran, tetapi emosi. Kota seperti Surabaya bisa dicap negatif bukan karena fakta, tapi karena satu sudut pandang yang dikemas menarik,” ujar Bagas. Ia menekankan pentingnya literasi digital agar masyarakat tidak terjebak dalam narasi tunggal yang menyesatkan.
Kontroversi ini memperlihatkan betapa mudahnya citra suatu wilayah direduksi dalam lanskap media sosial. Kota bukan sekadar entitas geografis, tetapi simbol identitas kolektif yang kini rawan terdistorsi demi eksistensi algoritmis. Surabaya hanyalah contoh pertama. Kota-kota lain bisa menyusul, jika publik terus membiarkan opini viral menggantikan pemahaman kritis. (Syf)
1 komentar