Lentera Biru, (12/10). Kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, kembali membuka tabir rapuhnya tata kelola pemerintahan dan keuangan publik di Indonesia. Skandal yang bermula dari pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan ini menunjukkan bagaimana regulasi teknis yang semestinya melindungi pekerja justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Kasus yang
diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2025 itu, mekanisme
sertifikasi dijadikan alat pemerasan terstruktur, melibatkan pejabat dan pihak
swasta, dengan aliran dana mencapai puluhan miliar rupiah.
Skandal dugaan korupsi yang menyeret mantan
Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer bukan sekadar perkara hukum
personal. Ia adalah cermin buram dari kegagalan sistem tata kelola pemerintahan
dan keuangan publik dalam menjaga integritas birokrasi teknis.
Kasus yang terungkap lewat operasi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, ditemukan dugaan praktik pemerasan dan
gratifikasi dalam pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
sebuah mekanisme administratif yang seharusnya memastikan keselamatan tenaga
kerja di seluruh Indonesia.
Dari hasil penyidikan KPK menemukan adanya
pola sistematis dalam pengumpulan dana dari perusahaan penyedia jasa
sertifikasi K3, dengan nilai yang mencapai lebih dari Rp 81 miliar. Sebagian
besar dana tersebut diduga mengalir ke sejumlah pejabat dan pihak terkait,
termasuk Immanuel Ebenezer. Praktik ini menunjukkan bahwa korupsi di birokrasi
tidak selalu berwujud pada proyek besar atau pengadaan barang, tetapi juga bisa
tumbuh melalui proses teknis yang tampak sepele, namun memiliki dampak keuangan
yang signifikan dan berulang.
Para pakar kebijakan publik menilai, kasus
ini menandakan lemahnya pengawasan internal dan audit keuangan di lingkungan
Kementerian Ketenagakerjaan. Sistem keuangan publik yang seharusnya mampu
mendeteksi anomali transaksi, ternyata tidak berfungsi efektif.
Menurut Dr. Robert Klitgaard (2019) dalam
teorinya tentang corruption equation - corruption = monopoly + discretion
- accountability korupsi tumbuh subur ketika pejabat memiliki kewenangan
besar tanpa pengawasan memadai. Kondisi inilah yang tampak jelas dalam kasus
sertifikasi K3 monopoli proses, diskresi tinggi dalam pemberian izin, dan
hampir nihil akuntabilitas keuangan.
Selain persoalan hukum, kasus ini juga
menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap birokrasi pemerintah. Masyarakat
semakin skeptis terhadap komitmen reformasi ASN yang selama ini digaungkan
sebagai motor transparansi dan integritas. Menurut riset Transparency
International (2024), kepercayaan publik terhadap lembaga negara di
Indonesia turun signifikan dalam sektor pelayanan teknis, salah satunya karena
persepsi bahwa korupsi administratif kian meluas dan sulit diberantas.
Dari perspektif keuangan publik, kasus ini
menunjukkan disfungsi tata kelola anggaran dan pengawasan berbasis risiko
(risk-based audit). Padahal, sejak reformasi sistem keuangan negara pasca UU
No. 17/2003, setiap lembaga wajib mengimplementasikan internal control
system yang mampu mengidentifikasi potensi penyimpangan sejak dini. Fakta
bahwa dugaan korupsi K3 baru terungkap setelah operasi KPK memperlihatkan
adanya kesenjangan antara kebijakan normatif dan praktik faktual di lapangan.
KPK sendiri, dalam pernyataannya,
menegaskan bahwa penyitaan dan pengembalian aset seperti mobil Toyota Alphard
yang sempat digunakan Immanuel Ebenezer
merupakan bentuk penerapan prinsip kehati-hatian dalam hukum keuangan
negara. Namun, di sisi lain, langkah ini juga menimbulkan pertanyaan publik
tentang sejauh mana proses penegakan hukum dapat menelusuri secara tuntas
sumber dan penggunaan dana hasil gratifikasi.
Para analis keuangan menilai, jika
pemerintah tidak segera memperbaiki sistem pengawasan teknis dan digitalisasi
proses sertifikasi, maka potensi kebocoran keuangan negara akan terus berulang.
Implementasi e-audit, open data procurement, dan traceable
certification fee dinilai menjadi kunci untuk mencegah praktik serupa di
masa mendatang.
Kasus ini pada akhirnya bukan sekadar
urusan Immanuel Ebenezer dan Kemenaker, tetapi refleksi atas rapuhnya governance
architecture birokrasi Indonesia di mana kekuasaan administratif yang tidak
disertai transparansi dan kontrol publik, selalu berujung pada korupsi teknis
dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Pemerintah kini dihadapkan pada tuntutan
bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga menata ulang sistem keuangan
publik dan tata kelola sertifikasi agar berorientasi pada integritas, bukan
kepentingan. Transparansi digital, audit independen, serta pengawasan berbasis
data terbuka harus menjadi keniscayaan, bukan sekadar jargon reformasi.
Jika momentum ini gagal dimanfaatkan untuk mereformasi sistem pengawasan dan integritas birokrasi, maka kasus serupa akan terus berulang menjadikan korupsi teknis sebagai “penyakit laten” pemerintahan Indonesia. Dengan demikian, kasus ini bukan hanya persoalan hukum, melainkan ujian moral atas sejauh mana negara mampu menegakkan akuntabilitas dan menjaga kepercayaan publik yang kian rapuh.
Penulis: Isa Firdaus
Posting Komentar