no fucking license

Archive

Middle

Lorem lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed tempor and vitality, so that the labor and sorrow, some important things to do eiusmod. For now passes from soccer.
64y6kMGBSVhmzQfbQP8oc9bYR1c2g7asOs4JOlci

Recent

Bookmark

Mahbub Djunaidi : Mati Raganya, Tapi Tidak dengan Idenya

Ilustrasi : AI

Lentera Biru, (30/09). Tiga puluh tahun Mahbub Djunaidi berpulang (meninggal pada 1 Oktober 1995). Namun, meskipun raganya telah tiada, gagasan-gagasannya tetap hidup dalam pusaran ruang intelektual, media, dan kader generasi aktivis. Momentum haulnya ini penting bagi kita tidak sekadar mengenang figur historis itu, melainkan merestorasi kembali spirit Mahbub Djunaidi ia yang menolak sunyi meski dibungkam penjara atau tekanan rezim.

Sepanjang hidupnya Mahbub bukan hanya seorang jurnalis atau sastrawan biasa. Ia adalah pendekar pena, ia membawa pena sebagai senjata intelektual untuk memperjuangkan keadilan, membela kaum tertindas, dan memperkaya kesadaran publik. Sebagai Ketua Umum pertama PMII, ia meletakkan fondasi bahwa kepemimpinan mahasiswa tidak hanya soal organisasi internal, melainkan juga soal suara kritis terhadap penguasa.

Menghidupkan Kembali Spirit Mahbub

Ada banyak alasan mengapa kita harus mengidupkan kembali spirit Mahbub Djunaidi. Pertama, karena medan perjuangan intelektual hari ini kian berbeda dan kompleks. Arus informasi masif, tekanan ekonomi media, serta dinamika politik yang saling mempengaruhi membuat ruang jurnalistik dan aktivisme mahasiswa menjadi sangat rentan terhadap pragmatisme atau kompromi halus. Di tengah situasi itu warisan Mahbub yang meyakini bahwa jurnalisme bukan hanya menyampaikan fakta, melainkan melahirkan makna dan kritik menjadi titik pijak yang relevan untuk direnungkan.

Kedua, banyak generasi aktifis mahasiswa dan kader PMII dewasa ini mungkin hanya mengenalnya lewat catatan organisasi tanpa menyelami gaya tulisan, cara berpikir, dan etos kritik yang dibawa Mahbub. Restorasi spirit bukan sekadar mengenang nama, melainkan menerjemahkannya ke dalam praktik masa kini ketika mahasiswa menulis, mengkritik, atau menggunakan media digital apakah mereka membawa keberanian, kejujuran, dan kreatifitas kritik ala Mahbub?

Ketiga, haul bukan sekadar ritual kenangan; kalau hanya menjadi upacara hampa, maka Makna historisnya tersia-sia. Haul memberikan momentum kolektif untuk refleksi: “Apa dari warisan Mahbub yang masih belum teraktualisasi? Di mana kita gagal menjaga semangat kritisnya?” Dengan begitu, artikel ini ingin mengajak pembaca khususnya kader PMII dan penggiat literasi untuk tidak hanya mengenang Mahbub sebagai tokoh monumental, tapi juga menjadikan idenya hidup kembali di zaman yang berbeda ini.

Pena yang Tak Pernah Mati

Mahbub Djunaidi telah lama berpulang tetapi pena yang pernah ia gunakan tetap meninggalkan bekas yang dalam. Dengan tulisan, ia menertawakan kekuasaan, menyingkap kemunafikan, dan membela kaum tertindas. Ia tidak menghunus senjata, tidak pula mengangkat bendera pemberontakan, tetapi menggoreskan kata sebagai perlawanan dan itulah yang membuatnya abadi.

Momentum haul kali ini seharusnya tidak hanya menjadikan Mahbub sebagai nama yang dihormati dalam buku sejarah, tetapi sebagai spirit hidup yang menuntun generasi penerus, khususnya kader PMII, untuk terus berani menulis, berani bersuara, dan berani melawan melalui gagasan. Sebab, seperti yang ditunjukkan Mahbub, tubuh bisa mati, tetapi ide yang lahir dari pena akan terus bergerak, menembus zaman, dan menolak untuk dilenyapkan.


Penulis : Syafrial A.

Posting Komentar

Posting Komentar