Lentera Biru, (06/10). Tragedi yang menimpa Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, pada akhir September 2025 kembali mengguncang kesadaran publik. Sebab ada pandangan lain tentang lemahnya penerapan prinsip hifz al-nafs penjagaan jiwa dalam kehidupan keagamaan. Insiden runtuhnya bangunan asrama santri yang menewaskan dan melukai puluhan orang itu tidak hanya menimbulkan duka mendalam bagi keluarga korban, tetapi juga menyingkap kegagalan sistemik dalam memastikan keselamatan jiwa di lingkungan pendidikan Islam. Ironisnya, prinsip teologis yang seharusnya menjadi pilar utama maqasid al-syariah justru terabaikan dalam praktik keseharian pesantren.
Pada
29 September 2025, ketika ribuan santri berkumpul untuk salat, konstruksi
musala bertingkat yang sedang dikerjakan runtuh, puluhan santri tertimbun,
belasan tewas, dan ratusan luka-luka. Laporan awal menyebut kegagalan fondasi
akibat upaya menambah lantai tanpa izin sebagai penyebab runtuhnya struktur.
Tragedi itu memaksa otoritas menyelidiki prosedur pembangunan dan izin yang
menyertai proyek tersebut.
Dalam
kesaksiannya kepada media DetikJatim, Rizal, salah satu santri yang selamat
dari runtuhnya bangunan, menggambarkan detik-detik mengerikan saat struktur
mushola jebol. "Awalnya seperti ada bambu jatuh, lalu terasa seperti
gempa. Seketika bangunan langsung ambruk," jelas Rizal.
Pengasuh Pondok, KH. Abdus Salam Mujib, bereaksi dengan nada religius sekaligus permintaan maaf publik. Ia menyeru kesabaran dan menyebut peristiwa itu sebagai “takdir Allah”, sambil menyampaikan permintaan maaf kepada para wali santri dan memprioritaskan evakuasi korban. “Saya kira memang ini takdir dari Allah, jadi semuanya harus bisa bersabar,” ujar Salam, dikutip dari detikcom.
Namun, pernyataan tersebut meskipun bernada teologis yang menenangkan, membuka ruang
kritik apakah pengertian takdir sedang dipakai untuk menutupi celah tata kelola
dan pengawasan teknis dan siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas
insiden ini.
Secara
teologis, pengabaian keselamatan struktural berkaitan langsung dengan pemahaman
maqasid al-syariah. Maqasid al-syariah menempatkan hifz al-nafs
(perlindungan jiwa) sebagai salah satu pilar utama syariat. Pada banyak
interpretasi klasik dan kontemporer, memprioritaskan keselamatan hidup manusia
sebagai landasan hukum dan moral.
Prinsip
ini bukan semata retorika ia menuntut konkretisasi pada ranah publik dan
institusional perlindungan jiwa melalui standar bangunan, protokol keselamatan,
dan akuntabilitas tata kelola lembaga. Para teoritikus maqasid menegaskan
bahwa tujuan-tujuan syariat harus diterjemahkan menjadi kebijakan publik dan
manajemen organisasi yang melindungi kemaslahatan umat.
Perspektif
tekstual Al-Qur’an menegaskan nilai nyawa manusia surat Al-Maidah ayat 32, “Barangsiapa
yang menyelamatkan satu jiwa, maka seakan-akan ia telah menyelamatkan seluruh
umat manusia.” Ayat ini menyediakan dasar normatif kuat bahwa menyelamatkan
nyawa bukan sekadar tindakan kemanusiaan tetapi juga kewajiban agama. Jika
makna ini dipadukan dengan maqasid, maka keselamatan fisik santri
menjadi bagian tak terpisahkan dari ibadah kolektif tempat ibadah itu sendiri.
Tragedi runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny bukan sekadar peristiwa duka, melainkan cermin nyata kelalaian struktural yang berujung pada hilangnya nyawa para santri yang seharusnya dilindungi. Di tengah proses evakuasi dan penyelidikan yang masih berlangsung, muncul pertanyaan mendasar tentang tanggung jawab moral dan hukum penyelenggara pendidikan terhadap prinsip dasar perlindungan jiwa hifz al-nafs sebuah nilai fundamental dalam ajaran Islam. Jika prinsip perlindungan jiwa kembali ditegakkan secara utuh baik oleh negara, masyarakat, maupun lembaga pendidikan peristiwa serupa tidak perlu dan tidak akan terulang di masa depan.
Penulis: Syafrial A.



Posting Komentar