no fucking license

Archive

Middle

Lorem lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed tempor and vitality, so that the labor and sorrow, some important things to do eiusmod. For now passes from soccer.
64y6kMGBSVhmzQfbQP8oc9bYR1c2g7asOs4JOlci

Recent

Bookmark

Estetika Perlawanan, Membaca Bahasa Visual Pameran HAM Mahasiswa ITS

Foto: bima aditya/superradio.id

Lentera Biru, (11/11). Di tengah kelesuan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, sekelompok mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menghadirkan cara berbeda untuk bersuara. Melalui pameran bertajuk “Merajut Ingatan yang Hilang” yang digelar di Plaza Dr. Angka pada 28 hingga 31 Oktober 2025, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ITS menyulap ruang kampus menjadi medium kritik sosial. Lewat instalasi visual seperti patung tubuh tertusuk tombak dan delapan kursi kosong yang melingkar, mahasiswa menantang publik untuk membaca kembali luka bangsa dan mempertanyakan sampai kapan keadilan hanya menjadi simbol bukan kenyataan.

Pameran “Merajut Ingatan yang Hilang” bukan sekadar kegiatan seremonial mahasiswa, melainkan ekspresi politis yang lahir dari keresahan intelektual generasi muda atas stagnasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia. BEM ITS bekerja sama dengan KontraS Surabaya dan LBH Surabaya menghadirkan karya-karya visual yang memadukan simbolisme artistik dengan kritik sosial. Di antara instalasi yang paling menyita perhatian terdapat figur pria tertusuk tombak, dikelilingi delapan kursi kosong yang merepresentasikan presiden pertama hingga sekarang. Simbol tersebut menjadi metafora tajam tentang delapan rezim kepemimpinan nasional yang belum menuntaskan luka keadilan rakyatnya.

Simbol delapan kursi dalam pameran itu menjadi pengingat bahwa impunitas bukan hanya kegagalan hukum, tetapi juga kegagalan moral kolektif. Melalui karya mereka, mahasiswa ITS mencoba memecah kebisuan publik dan menjadikan seni sebagai medium penyadaran, bukan sekadar hiburan. Pameran ini juga memiliki dimensi edukatif yang kuat, hal ini dapat dilihat dari beberapa infografis yang menjelaskan mengenai isu-isu pelanggaran HAM di Indonesia, pengunjung yang terdiri atas mahasiswa, dosen, dan masyarakat umum didorong untuk membaca ulang sejarah bangsa melalui perspektif visual dan emosional.

Menurut Wisnu, Ketua Pelaksana pameran, melalui karya visual ini panitia ingin menghadirkan ruang refleksi sekaligus mengangkat isu-isu pelanggaran HAM yang belum sepenuhnya terselesaikan agar publik dan pemerintah kembali memperhatikannya. Pandangan tersebut sejalan dengan gagasan resistensi estetik yang juga banyak dibahas dalam kajian seni dan politik kontemporer. Seniman dan peneliti Indonesia, Tintin Wulia (2023) misalnya, menekankan bahwa praktik seni dapat berfungsi sebagai tindakan sosial yang menantang bentuk-bentuk kekuasaan dan membuka ruang baru bagi partisipasi publik. Pandangan ini juga beririsan dengan sejumlah pemikiran akademisi Indonesia, seperti Siregar (2023), yang menilai bahwa tindakan artistik masyarakat dapat menjadi strategi perlawanan simbolik terhadap ketidakadilan yang mengakar.

Kegiatan ini memperlihatkan bahwa kampus, khususnya ITS yang dikenal sebagai institusi sains dan teknologi, sedang bereksperimen dalam bentuk baru pendidikan HAM melalui estetika perlawanan. Pameran tersebut menjadikan ruang akademik tidak hanya sebagai tempat berpikir rasional, tetapi juga arena reflektif yang menumbuhkan kesadaran moral dan empati sosial. Mahasiswa teknik yang terbiasa berpikir dengan logika dan sistem kini menguji nalar mereka dalam ruang yang lebih luas, yakni kemanusiaan itu sendiri. Dari kalkulasi menjadi refleksi, dari struktur menjadi empati.

Aksi mahasiswa ITS tersebut mencerminkan kebangkitan kesadaran hak asasi manusia di kalangan generasi pascareformasi. Mereka tidak lagi menunggu negara untuk mengakui kesalahan, tetapi memilih menciptakan sendiri ruang perlawanan yang lahir dari ingatan dan estetika. Di tengah stagnasi politik keadilan, kampus hadir sebagai laboratorium nilai-nilai kemanusiaan, tempat ingatan kolektif dan tanggung jawab moral dijalin menjadi satu bahasa universal, yakni seni.

Pameran “Merajut Ingatan yang Hilang” di ITS menegaskan bahwa perjuangan hak asasi manusia tidak selalu harus berlangsung di ruang sidang atau jalanan. Perjuangan juga dapat hidup dalam ruang estetika, ketika seni menjadi bahasa nurani dan nalar menjadi daya perlawanan. Di balik patung yang tertusuk tombak dan kursi-kursi kosong itu tersimpan pesan universal bahwa ingatan adalah bentuk keadilan pertama yang harus dijaga. Mahasiswa ITS, dengan segala keterbatasannya, menghadirkan tafsir baru tentang keberpihakan terhadap kemanusiaan. Pameran ini menjadi perlawanan yang sunyi namun bermakna. Di tengah bangsa yang terus berjuang melawan lupa, karya mereka bukan sekadar pameran, melainkan penegasan moral bahwa di tengah impunitas, kesadaran masih hidup, dan di tengah diamnya kekuasaan, suara keadilan justru tumbuh dari ruang kecil bernama kampus.



Penulis: Isa Firdaus
Posting Komentar

Posting Komentar