no fucking license

Archive

Middle

Lorem lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed tempor and vitality, so that the labor and sorrow, some important things to do eiusmod. For now passes from soccer.
64y6kMGBSVhmzQfbQP8oc9bYR1c2g7asOs4JOlci

Recent

Bookmark

RUU KUHAP dan Ancaman Erosi Privasi

Sumber: detikNews.com

Lentera Biru, (24/11/). RUU KUHAP telah resmi disahkan DPR pada Selasa 18 November 2025. Hal tersebut menuai sorotan setelah sejumlah pasalnya dinilai dapat memperluas kewenangan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tanpa pengawasan yudisial yang memadai. Sejumlah pakar hukum menilai revisi ini berpotensi menggerus privasi warga negara, terutama karena mekanisme perizinan hakim dianggap longgar dan rawan disalahgunakan. Pemerintah beralasan pengaturan baru dibutuhkan untuk menghadapi kejahatan digital yang kian kompleks, namun kelompok masyarakat sipil mempertanyakan bagaimana perlindungan hak asasi akan dijamin jika ruang kontrol publik dan peradilan justru melemah.

RUU KUHAP kembali memicu perdebatan setelah sejumlah ketentuan di dalamnya dinilai membuka ruang yang lebih luas bagi aparat untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, dan pemblokiran data digital. Pemerintah menegaskan bahwa aturan baru justru memperkuat penegakan hukum, namun para pakar menilai mekanisme pengawasan yudisial dalam draf tersebut belum cukup ketat untuk menjamin perlindungan privasi warga negara.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menolak anggapan bahwa RUU KUHAP memberi kewenangan semena-mena kepada aparat. Ia menegaskan bahwa seluruh tindakan khusus tetap memerlukan izin pengadilan.

Penggeledahan, penyitaan, dan pemblokiran data tetap harus seizin Ketua Pengadilan Negeri. Itu tidak berubah.” ujarnya dalam pernyataan kepada media.

Ia juga menyebut bahwa penyadapan nantinya akan diatur melalui undang-undang tersendiri agar lebih komprehensif.

Namun, kelompok masyarakat sipil menilai ada sejumlah masalah krusial. Draf RUU KUHAP memuat ketentuan yang memperbolehkan penyitaan tanpa izin hakim dalam “keadaan sangat perlu dan mendesak”. Formulasi ini dianggap terlalu kabur dan membuka celah pembenaran yang dapat digunakan secara sewenang-wenang. Beberapa akademisi hukum tata negara mengingatkan bahwa ketiadaan definisi objektif “keadaan mendesak” berpotensi menggerus prinsip due process of law.

Ketika frasa mendesak tidak dijelaskan secara teknis, maka diskresi aparat menjadi terlalu besar. Di sinilah titik rawannya.” ujar perwakilan masyarakat pakar hukum pidana dalam diskusi terbuka.

Kritik juga datang terkait mekanisme penyadapan. Meskipun draf menyebut bahwa penyadapan harus dengan izin ketua pengadilan, belum ada aturan rinci mengenai batas waktu, audit independen, hingga mekanisme pemusnahan data yang tidak relevan. Sejumlah organisasi HAM menilai tanpa standar teknis yang jelas, hak privasi digital warga bisa terancam. Mereka menyerukan DPR agar memperketat pengawasan hakim dan memastikan setiap tindakan khusus memiliki akuntabilitas tinggi sebelum RUU disahkan.


Penulis: Syafrial A.

Posting Komentar

Posting Komentar