| Sumber : CNBC Indonesia |
PT Toba Pulp Lestari
(TPL) di Tengah Sorotan Pasca Bencana Sumatera
PT Toba Pulp Lestari
(TPL), perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang beroperasi di Sumatera
Utara, berada di pusat perhatian publik setelah banjir dan longsor besar
menimpa sejumlah wilayah di Sumatera pada akhir November–Desember 2025.
Kehebohan muncul karena sejumlah pihak termasuk organisasi lingkungan dan
masyarakat adat menuding aktivitas korporasi sebagai salah satu faktor yang
memperparah kerusakan ekologis.
Siapa Pemilik TPL,
Sekarang?
Menurut laporan terkini,
TPL memiliki struktur kepemilikan baru per 2025. Mayoritas saham (sekitar
92,54%) kini dipegang oleh Allied Hill Limited (AHL), perusahaan yang
berkedudukan di Hong Kong. AHL sendiri sepenuhnya dimiliki oleh Everpro
Investments Limited, dan pemilik manfaat akhir (ultimate beneficial owner)
adalah Joseph Oetomo, seorang pengusaha berkewarganegaraan Singapura.
Peralihan ini menandai
perubahan signifikan perusahaan yang pada awalnya didirikan pada 1983 oleh
pengusaha lokal Sukanto Tanoto bukan
lagi di bawah kendali tokoh lama.
Tuduhan Lingkungan & Respon Perusahaan
Sejumlah aktivis lingkungan dan perwakilan masyarakat adat termasuk dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menuding bahwa konsesi TPL dan konversi hutan menjadi tanaman industri telah mengganggu fungsi ekologis hutan, mengurangi kapasitas serapan air, dan memperparah risiko banjir dan longsor.
Menghadapi tudingan tersebut, manajemen TPL menyatakan keberatan keras. Dalam pernyataannya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), TPL menegaskan bahwa semua operasional telah sesuai izin, regulasi, dan standar lingkungan. Corporate Secretary perusahaan, Anwar Lawden, menyatakan :
“Perseroan menolak dengan tegas tuduhan bahwa operasional Perseroan menjadi penyebab bencana ekologi.” dikutip dari keterbukaan informasi BEI, Rabu (3/12/2025).
Lebih lanjut TPL menyampaikan bahwa seluruh kegiatan HTI telah menjalani penilaian pihak ketiga termasuk menggunakan standar High Conservation Value (HCV) dan High Carbon Stock (HCS) dan bahwa audit terbaru oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022–2023 menyatakan perusahaan “taat” regulasi lingkungan dan sosial.
Menurut data perusahaan, dari total konsesi seluas 167.912 hektare, sekitar 46.000 hektare digunakan untuk budidaya eucalyptus, sedangkan sisanya diklaim sebagai kawasan lindung dan konservasi.
Polemik & Krisis
Kepercayaan Publik
Meskipun klaim kepatuhan
regulasi dan audit telah dilakukan, kepercayaan publik masih goyah terutama di
kalangan masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan korban bencana. Banyak yang
menilai bahwa audit dan sertifikasi saja tidak cukup untuk menggantikan fungsi
hutan alam dalam meredam hujan lebat, menjaga tanah, dan menahan erosi.
Di sisi lain, masih ada
desakan dari berbagai pihak agar izin dan konsesi TPL dievaluasi ulang, bahkan
mempertimbangkan kemungkinan penghentian operasi jika terbukti berkontribusi
terhadap kerusakan ekologis dan hilangnya kepercayaan masyarakat.



Posting Komentar