Oleh : Marx Jogang
![]() |
Pict By : Fahmi Ayatullah |
Mahasiswa, makhluk kampus yang penuh dengan gelora muda dan ambisi se-gunung, sering kali menghadapi dilema asmara yang tak kalah pelik dari persamaan diferensial. Kampus bukan hanya tempat kuliah, tapi juga medan tempur asmara, tempat di mana cinta dan tugas bertarung dalam laga yang tak berkesudahan.
Bayangkan hidup mahasiswa: di antara tumpukan tugas dan jadwal kuliah yang padat, ada satu dilema besar yang selalu mengintai – asmara. Eksistensi bagi pelajar bukan hanya soal mendapat nilai IPK yang tinggi atau lulus tepat waktu, tapi juga menemukan arti hidup, yang terkadang terselip di balik senyum manis seorang pujaan hati. Namun, di sudut lain kampus, ada moralitas yang berkacak pinggang, siap menegur setiap kelakuan yang dianggap keluar jalur.
Eksistensi mahasiswa sering kali diuji di antara tugas-tugas kuliah yang tak kunjung habis. Mereka harus memutuskan: lebih baik menyelesaikan jurnal filsafat atau mengejar cinta di kelas-kelas tak berpenghuni? Tentu saja, banyak pelajar yang memilih opsi kedua, demi merasakan getaran asmara yang konon katanya lebih nikmat dari secangkir kopi pahit di malam ujian sarjana. Namun, berakhir dengan nilai jeblok dan cinta yang kandas? Ah, itulah ironi hidup mahasiswa yang sering kali membuat keblingeran dalam menjalani hidup.
Moralitas dalam Asmara Mahasiswa
Di dunia kampus, moralitas adalah semacam kode etik yang tidak tertulis yang harus dipatuhi. Tapi mari kita jujur, siapa sih yang tidak suka melanggar sedikit aturan demi merasakan degup jantung yang lebih cepat? Moralitas dalam asmara pelajar sering kali menjadi batas tipis antara kebebasan dan kesopanan. Kita tahu ada aturan yang mengharuskan kita menjaga perilaku, tapi di sisi lain, ada godaan asmara yang tak kalah kuat.
Coba bayangkan, sepasang mahasiswa yang sedang asyik bercumbu di pojok perpustakaan. Tempat yang seharusnya menjadi sarang ilmu, tiba-tiba berubah menjadi sarang asmara. Ketika mereka tertangkap oleh petugas perpustakaan, berbagai alasan konyol pun dilontarkan, dari "Kami sedang membahas makalah" hingga "Ini bagian dari praktik studi kasus psikologi". Yang pasti, moralitas kampus kadang dibuat kelabakan kreativitas oleh mahasiswa dalam berdalih.
"Saper Aude!" Imanuel kant berdalil yang artinya "Beranilah mengetahui!" Tapi kalau diterapkan oleh siswa, mungkin akan berubah menjadi "Beranilah bercumbu di pojok perpustakaan!" Kant, dengan segala keseriusannya tentang etika dan moral, mungkin akan tergelitik dan akan tertawa.
Nah, ketika eksistensi dan moralitas bertemu, disitulah letak keasyikannya. Mahasiswa harus berjuang menyeimbangkan dua hal yang sering kali bertolak belakang. Ini mirip dengan menyeimbangkan dua ember penuh udara di atas sepeda – mudah dibayangkan, sulit dilakukan. Di satu sisi, ada dorongan yang kuat untuk mengejar cinta yang membuat hidup lebih berwarna. Di sisi lain, ada tuntutan moralitas yang mengekang.
Persimpangan ini sering kali menghasilkan cerita-cerita komikal yang membuat kita tertawa sekaligus merenung. Sebagian siswa harus memilih antara mengikuti hati yang berbunga-bunga atau patuh pada aturan yang terkadang terasa menyiksa. Konflik batin ini sering kali digambarkan dengan ilustrasi yang menggelitik: misalnya, siswa yang tertangkap basah oleh anjing-anjing kampus saat sedang berduaan di kelas kosong, dengan alasan yang sulit diterima akal sehat.
Tapi, mungkin jalan tengah ini berada di kelas kosong, di mana mereka bisa menghindari terjadinya kejadian tajam sambil tetap merasakan manisnya asmara. Aristoteles pernah berkata, “Kebajikan adalah jalan tengah.” Tapi jika Aristoteles tahu mungkin akan terkejut melihat bagaimana teori penerapannya diterapkan dalam kehidupan siswa yang penuh liku.
Bercumbu di Kampus
Salah satu contoh yang sering kali menjadi bahan guyonan adalah kasus mahasiswa yang tertangkap bercumbu di kampus. Reaksinya pun beragam, mulai dari teman-teman yang pura-pura tidak tahu, hingga dosen yang memberikan teguran dengan nada humoris. Kampus pun menjadi panggung komedi yang menampilkan berbagai aksi kocak para mahasiswa.
Bayangkan situasi ini: sepasang mahasiswa yang tertangkap basah sedang bercumbu di belakang gedung fakultas. Teman-teman yang melihat pun hanya bisa menahan tawa sambil berbisik, "Lihat tuh, Romeo dan Juliet versi kampus." Dan ketika dosen tahu, teguran yang diberikan pun sering kali diselingi dengan humor, "Kalian ini mau lulus cepat atau mau jadi bintang sinetron?" Situasi seperti ini menjadi pelajaran moral yang bisa diambil dengan penuh tawa, tanpa mengurangi esensi dari norma yang harus dipatuhi.
Mari kita lanjutkan dengan studi kasus yang membuat kampus UINSA geger: video syur mengungkapkan sejoli yang sedang asyik berciuman. Nah, di tengah kampus yang katanya penuh moral dan etika, ada saja yang mendasari realitas seks dan kekuasaan. Video itu menyebar seperti api di musim kemarau, bikin satu kampus heboh. Semua tiba-tiba jadi detektif dadakan, mencoba mencari tahu siapa pemeran utamanya. Rapat-rapat dewan etika digelar, diskusi moralitas dibicarakan di warung kopi, dan semua berbisik-bisik seolah mereka punya hak untuk menghakimi.
Di sini kita melihat Michel Foucault yang berbicara tentang bagaimana fenomena realitas tersebut dan kekuasaan saling berkaitan. Apapun segala bentuk ke sangean dalam lingkungan kampus menjadi alat pengendalian, di mana mereka yang berkuasa berusaha menjaga citra suci dan kampus murni, tapi di balik layar, terjadi hal-hal yang manusiawi. Foucault mengatakan, kekuasaan tidak hanya menindas, tetapi juga menciptakan realitas—termasuk realitas seks di kampus.
Nah, coba bayangkan kalau teori pakar seks seperti Dr. Ruth Westheimer yang terkenal dengan sikapnya yang blak-blakan bicara soal seks, ikut nimbrung dalam diskusi kampus. Dr. Ruth mungkin akan berkata, "Oh, Rek-rek, memang pemuda itu suka berciuman, itu normal. Tapi, kenapa harus heboh? Mungkin lebih baik ajarkan mereka tentang berciuman yang sehat daripada menghakimi."
Lalu kita lihat kebetulan di kampus. Ada yang berkata, "Ini terpana! Kampus kita ternoda!" Sementara yang lain, dengan lebih humoris, berkomentar, "Ya ampun, setidaknya mereka saling mencintai, kan? Lagi pula, itu kan Cuma sekedar berciuman. Kalau kita larang cinta, kampus ini bakal kering kayak gurun di Mesir"
Dan memang fenomena percumbuan duniawi ini menjadi medan perang moral di kampus. Kekuasaan kampus yang berusaha melindungi dan mengendalikan, sementara pelajar, yang hidup di zaman internet, mungkin berpikir, "Apa salahnya sedikit kemesraan?" Ironi terbesarnya: kampus yang seharusnya menjadi tempat pencerahan malah menjadi ajang penghakiman.
Nietzsche pernah berkata, "Hidup tanpa musik adalah kesalahan." Bagi pelajar, mungkin akan diubah menjadi, "Hidup tanpa cinta adalah kesalahan." Nietzsche, dengan segala kontroversinya tentang nilai dan moral, mungkin akan tersenyum simpul melihat bagaimana mahasiswa menafsirkan kata-katanya dalam fenomena percumbuan.
Pada akhirnya, dilema eksistensi dan moralitas dalam asmara siswa adalah bagian dari proses pembelajaran yang kaya akan warna dan cerita. Meski penuh liku dan drama, mahasiswa Asmara memberikan warna tersendiri dalam kehidupan kampus. Selama menghadap dengan bijak dan penuh pengertian, cinta di kampus akan tetap menjadi kenangan indah yang tak terlupakan. Mari kita nikmati perjalanan asmara pelajar dengan senyum yang selalu siap mengembang, karena dalam setiap tawa ada pelajaran berharga yang bisa kita petik.
Posting Komentar