Sejarah
selalu mencatat peradaban dengan tinta emas, namun sering kali melupakan secangkir
kopi yang menemani para pemikir. Pun, pepatah ada yang mengatakan " Banyak
jalan menuju Roma", bahkan jalan menuju warkop penuh dengan drama. Dalam
spektrum luas agama Islam, setiap mazhab memiliki jejak uniknya, memberikan
warna-warni yang memperkaya kanvas besar teologi. Di antara sekian banyak
mazhab yang mewarnai dunia Islam, ada satu yang menarik perhatian dengan
keunikan dan kearifan lokalnya, seperti yang ditulis oleh Prof. Mukhammad
Zamzami dalam artikelnya "Islam “Mazhab Surabaya” dan UINSA-isme”.
Di tengah
hiruk-pikuk akademis, warkop menjadi oase bagi para mahasiswa. Di dalam mereka
menemukan ruang untuk merenung, berpikir, dan terkadang, ironi kehidupan. Bukan
hanya tempat ngopi, warkop adalah saksi bisu pergulatan intelektual dan spiritual.
Di sini, teologi tidak hanya dibahas dalam bahasa Arab yang penuh liku, tetapi
juga dalam bahasa sehari-hari yang lugas dan terkadang penuh sindiran halus.
“Kalau Tuhan menciptakan kopi, pasti ada hikmah di baliknya,” ujar seorang
siswa dengan nada bercanda namun sarat makna. Mazhab Islam Wonocolo. Begitulah
penulis menyebutkan. Islam ini hadir, bagaikan sesendok teologi yang diaduk
dalam secangkir kopi. Tidak terlalu kental hingga membuat dahi berkerut, tapi
juga tidak terlalu encer hingga kehilangan rasa.
Bagi sebagian
pelajar menikmati kopi bukan sekadar minuman yang mengusir rasa kantuk,
melainkan sebuah simbol kebersamaan, pemahaman teologi, dan bahkan sindiran
halus yang mampu membuat kita tersenyum dalam perenungan. Mungkin kita
bertanya, apa yang menyatukan kopi dengan teologi? Seperti ungkapan William
Copper, 'Tuhan bekerja dengan cara yang misterius,' dan di sekitar
warkop-warkop Wonocolo, misteri itu terungkap dalam aroma kopi yang selalu
menguar.
Mazhab Islam
Wonocolo adalah contoh cemerlang bagaimana teologi bisa diserap dan diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Di
kampung ini, teologi tidak terkurung dalam kitab-kitab tebal yang berdebu di
perpustakaan, melainkan hidup dan bernafas di setiap detik kehidupan anak kos.
Dalam setiap seruput kopi dan kesabaran menanak nasi, ada pelajaran tentang
kesabaran, ketulusan, dan keimanan yang tidak bisa didapatkan hanya dengan
membaca buku teologi yang tebal-tebal.
Tulisan ini
mungkin terdengar terlalu sederhana atau bahkan terlalu jenaka. Namun, tidak
jarang kita terjebak dalam keangkuhan akademis yang membuat kita lupa bahwa
esensi dari teologi adalah untuk menyentuh hati, bukan hanya pikiran?
Di warkop
tidak ada ruang untuk fanatisme buta atau ritual kosong tanpa makna. Setiap
tindakan, sekecil apa pun, dilakukan dengan penuh kesadaran dan pemahaman.
Bahkan dalam hal sekadar minum kopi, ada filosofi yang mendalam. “Ngopi itu
tidak bisa buru-buru,” ujar Kiai yang tak disebut maukaan namanya itu “Seperti halnya
kita tidak bisa buru-buru dalam memahami ajaran Tuhan. Butuh waktu, kesabaran,
dan tentu saja, kenikmatan dalam setiap proses.”
Lakonono Temu Dalane
Penulis : Fahmi Ayatullah




Posting Komentar