no fucking license

Archive

Middle

Lorem lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed tempor and vitality, so that the labor and sorrow, some important things to do eiusmod. For now passes from soccer.
64y6kMGBSVhmzQfbQP8oc9bYR1c2g7asOs4JOlci

Recent

Bookmark

Islam "Mazhab Wonocolo": Sesendok Teologi Dalam Secangkir Kopi

 

  Sejarah selalu mencatat peradaban dengan tinta emas, namun sering kali melupakan secangkir kopi yang menemani para pemikir. Pun, pepatah ada yang mengatakan " Banyak jalan menuju Roma", bahkan jalan menuju warkop penuh dengan drama.  Dalam spektrum luas agama Islam, setiap mazhab memiliki jejak uniknya, memberikan warna-warni yang memperkaya kanvas besar teologi. Di antara sekian banyak mazhab yang mewarnai dunia Islam, ada satu yang menarik perhatian dengan keunikan dan kearifan lokalnya, seperti yang ditulis oleh Prof. Mukhammad Zamzami dalam artikelnya "Islam “Mazhab Surabaya” dan UINSA-isme”. 

Di tengah hiruk-pikuk akademis, warkop menjadi oase bagi para mahasiswa. Di dalam mereka menemukan ruang untuk merenung, berpikir, dan terkadang, ironi kehidupan. Bukan hanya tempat ngopi, warkop adalah saksi bisu pergulatan intelektual dan spiritual. Di sini, teologi tidak hanya dibahas dalam bahasa Arab yang penuh liku, tetapi juga dalam bahasa sehari-hari yang lugas dan terkadang penuh sindiran halus. “Kalau Tuhan menciptakan kopi, pasti ada hikmah di baliknya,” ujar seorang siswa dengan nada bercanda namun sarat makna. Mazhab Islam Wonocolo. Begitulah penulis menyebutkan. Islam ini hadir, bagaikan sesendok teologi yang diaduk dalam secangkir kopi. Tidak terlalu kental hingga membuat dahi berkerut, tapi juga tidak terlalu encer hingga kehilangan rasa. 

Bagi sebagian pelajar menikmati kopi bukan sekadar minuman yang mengusir rasa kantuk, melainkan sebuah simbol kebersamaan, pemahaman teologi, dan bahkan sindiran halus yang mampu membuat kita tersenyum dalam perenungan. Mungkin kita bertanya, apa yang menyatukan kopi dengan teologi? Seperti ungkapan William Copper, 'Tuhan bekerja dengan cara yang misterius,' dan di sekitar warkop-warkop Wonocolo, misteri itu terungkap dalam aroma kopi yang selalu menguar.

Mazhab Islam Wonocolo adalah contoh cemerlang bagaimana teologi bisa diserap dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Di kampung ini, teologi tidak terkurung dalam kitab-kitab tebal yang berdebu di perpustakaan, melainkan hidup dan bernafas di setiap detik kehidupan anak kos. Dalam setiap seruput kopi dan kesabaran menanak nasi, ada pelajaran tentang kesabaran, ketulusan, dan keimanan yang tidak bisa didapatkan hanya dengan membaca buku teologi yang tebal-tebal.

Tulisan ini mungkin terdengar terlalu sederhana atau bahkan terlalu jenaka. Namun, tidak jarang kita terjebak dalam keangkuhan akademis yang membuat kita lupa bahwa esensi dari teologi adalah untuk menyentuh hati, bukan hanya pikiran?

Di warkop tidak ada ruang untuk fanatisme buta atau ritual kosong tanpa makna. Setiap tindakan, sekecil apa pun, dilakukan dengan penuh kesadaran dan pemahaman. Bahkan dalam hal sekadar minum kopi, ada filosofi yang mendalam. “Ngopi itu tidak bisa buru-buru,” ujar Kiai yang tak disebut maukaan namanya itu “Seperti halnya kita tidak bisa buru-buru dalam memahami ajaran Tuhan. Butuh waktu, kesabaran, dan tentu saja, kenikmatan dalam setiap proses.”

Lakonono Temu Dalane

Penulis : Fahmi Ayatullah

 


Posting Komentar

Posting Komentar