Lentera Biru, (19/10). Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) mengumumkan rencana besar untuk membangun 33 fasilitas pengolahan sampah menjadi listrik (PSEL) di seluruh provinsi Indonesia dengan total investasi mencapai Rp 91 triliun. Diperkirakan setiap proyeknya membutuhkan biaya antara Rp 2 hingga Rp 3 triliun (detikfinance, 16/10/25).
Proyek ini diklaim sebagai yang “terbesar di dunia” dalam skema waste-to-energy (WTE) oleh CIO Pandu Patria Sjahrir, yang menegaskan bahwa “tidak ada satu negara pun yang berinvestasi sebesar ini” dalam WTE, dikutip dari metrotvnews, 16 Oktober 2025.
Pemerintah Indonesia mempromosikan rencana pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga sampah (WTE) skala besar sebagai solusi ganda untuk menangani masalah sampah dan kebutuhan energi. Namun, berbagai ahli dan pelaku ekonomi sirkular mengkritik proyek ini karena berpotensi menciptakan paradoks. Meskipun WTE bisa mengurangi jumlah sampah dan menghasilkan energi, proyek ini juga bisa merugikan 3,7 juta pekerja informal seperti pemulung, bank sampah, dan usaha kecil menengah daur ulang. Karena sampah yang seharusnya didaur ulang justru akan dibakar dalam jumlah besar, mata pencaharian mereka bisa terganggu.
Klaim bahwa proyek ini adalah "yang terbesar di dunia" juga mendapat kritik karena masih kurang transparan mengenai kemampuan produksi listrik, teknologi yang digunakan, dan standar emisi yang diterapkan.
Di negara-negara maju, teknologi WTE memiliki emisi sangat rendah dan sistem pengelolaan sampah yang ketat, tetapi di Indonesia, tingkat pemilahan sampah rumah tangga masih di bawah 15 persen dan regulasi emisi juga belum cukup kuat. Hal ini meningkatkan risiko polusi udara yang berbahaya.
Dari sisi kebijakan, penghapusan biaya pemilahan sampah (tipping fee) serta harga beli listrik WTE yang mencapai 20 sen per kWh—yang lebih mahal dari energi surya atau batubara—menimbulkan kekhawatiran bahwa biaya proyek ini akan dialihkan kepada masyarakat secara umum. Tidak ada transparansi mengenai pengelolaan dana, sehingga proyek ini bisa dianggap sebagai "transisi energi yang tidak adil." Para pegiat lingkungan memperingatkan bahwa WTE tidak boleh menjadi jalan cepat yang mengabaikan prinsip mengurangi, mendaur ulang, dan memilah sampah.
Penulis: Faizatul Hidayah
Posting Komentar