Pendidikan memiliki peran yang sangat vital dalam
kehidupan berbangsa, sebagaimana tercermin dalam tujuannya: mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, melahirkan generasi yang mampu memecahkan masalah
sosial, serta terlibat aktif dalam masyarakat untuk mendorong perubahan ke arah
yang lebih baik. Pada akhirnya, pendidikan secara luas seharusnya menjadi
sarana penciptaan nilai-nilai kemanusiaan yang universal..Illustrasi AI
Pendidikan dan segala
instrumennya, seringkali menjadi momok pembahasan yang tak lekang usai, beragam
perspektif dan teori dihadirkan guna membarengi agar dapat menyesuaikan dengan
kondisi zaman. Mulai dari sistem dan mekanismenya, hingga soal-soal ketidakberesan
ekonomi hingga omon-omon gaji dari anggaran pusat negara.
Mengawali pergulatan
ini, penulis meminjam istilah Banalitas yang ditengahkan Hannah Arendt dalam
bukunya “Eichman in Jerussalem: A Repot on the banality of Evil". Banalitas diistilahkan
untuk menyebut kejahatan yang telah kehilangan ciri kejahatannya, atau dianggap
wajar dan biasa-biasa saja. Analoginya begini, pelaku sebagai subjek yang
melakukan kejahatan seakan tidak merasa melakukan kejahatan dan ia melakukannya
sebagaimana adanya ia tanpa mengimajinasikan kondisi dari korban sebagai objek.
Hannah Arendt dalam
buku tersebut mendeskripsikan situasi Eichman sebagai prajurit Nazi, terlebih Arendt
mengungkapkan kondisi Eichman yang tidak merasa melakukan kesalahan saat
membantai orang-orang Yahudi, Eichman merasa apa yang dilakukanya adalah tugas sekaligus
kewajiban militer. Dan Eichman sendiri bukan orang yang bengis tidak seperti
pelaku kejahatan / vis a vis dalam serial film Marvel. Ia sendiri adalah orang
yang biasa saja yang berpikir konservatif, dan justru karena kelurusannyalah
Eichman menjadi kehilangan daya nuraninya sebagai manusia.
Dari istilah tersebut,
penulis gunakan sebagai landasan neraca untuk melihat bagaimana realitas pendidikan
di toko ilmu (istilah Ki Hadjar Dewantara) tersebut. Meskipun
demikian, tulisan ini tidak bertujuan untuk menilai secara negatif atau
mendiskreditkan pihak manapun
kecuali pertanyaan reflektif nantinya. Penulis hanya akan
mengidentifikasi indikator-indikator yang menunjukkan adanya kebanalitasan
intelektual dalam perguruan
tinggi Khususnya di UIN Sunan Ampel Surabaya. Tidak lebih tujuan dari penulisan ini setidaknya memberikan
gambaran objektif kepada setiap siapa
saja yang membaca tulisan ini sekaligus yang jan-jane juga merasakan atau
sebagai korban atas fenomena ini, sekali lagi tanpa ada maksud pragmatis atau
kepentingan tertentu di baliknya.
Tentang Banalitas Intelektual
Banalitas intelektual mengacu
pada keadaan di mana terjadi tiga hal utama terjadinya
pendangkalan
pemikiran yang
tidak disadari
oleh individu, penurunan kualitas
akademik dan
menurunnya kualitas
intelektual.
Antara
kulitas akademik dan kualitas intelektual Heru Nugroho (2012) dalam artikelnya menjelaskan.
Kualitas akademik berkaitan dengan sejauh mana individu menguasai ilmu
pengetahuan yang memberikan alat-alat untuk bekerja secara akademis, sementara
kualitas intelektual lebih menekankan pada sejauh mana akademisi memiliki
komitmen terhadap ilmu yang mereka jalani sebagai bentuk pengabdian.
Merosotnya
kualitas akademik, Misal indikasinya dosen pengampu mata kuliah tidak menguasai
mata kuliah yang diajarkan, atau tidak memiliki kapasitas pengetahuan dibidangnya
sehingga justru malah berkontribusi atas kemorosotan intelektual mahasiswa
sekaligus menggugurkan kewajibannya dengan menuntut mahasiswa menulis jurnal
ilmiah dengan motif menjadi penulis pertama.
Lebih lanjut, pengertian intelektual di sini dimaksudkan pada proses intelektual yang ada dikampus. Adapun beberapa indikator banalitas intelektual yang ada di UIN Sunan Ampel Surabaya :
Pengkhianatan Akademik
Indikator
pertama saat para akademisi baik yang profesional maupun awam lebih mementingkan
nilai pragmatis atau lebih mencari keuntungan daripada mempertahankan
nilai-nilai pengetahuan atas penciptaan nilai-nilai kemanusiaan dan tak sekedar
memupuk citra.
Misalnya
yang seharusnya dosen menjalankan tugas untuk mencetak mahasiswa untuk berpikir
kritis akan nilai-nilai penting seperti kebenaran dan keadilan, justru menjadikan
atribut dosen sebagai pekerjaan sampingan dan lebih mementingkan prioritas yang
lebih untung, konsekuensinya tidak lagi mikirin kuliah, Ironisnya sampai perkuliahan ditiadakan kalau
ndak gitu online. Adapun praktiknya sebenarnya banyak, ada yang menjual bukunya
sendiri sebagai syarat kelulusan hingga omon-omon soal wakaf kemarin.
Mirisnya, dosen yang seperti ini malah dipertahankan oleh pihak UIN Sunan Ampel Surabaya, Meskipun begitu, setidaknya proses belajar mengajar menjadi prioritas utama, sebab proses ini bagian dari lillahita’ala, karena bukan soal gaji, melainkan soal generasi.
Pencitraan Intelektual dan Kloning Ilmiah
Fenomena ini sering kali muncul di dunia "jagat
maya". Banyak dosen doctoral maupun professor yang biasanya diundang menjadi pembicara di
seminar atau diskusi, yang fotonya
dipajang-pajang di brosur atau flyer dan disebut-sebut sebagai ahli atau pakar.
Namun, kenyataannya,
pemahaman mereka seringkali tidak sejalan dengan gelarnya. Tentu saja, tidak semua dosen atau akademisi
seperti itu. Banyak juga akademisi yang benar-benar ahli ndakik-ndakik, tampil di platform seperti
YouTube
atau televisi,
memberikan pemaparan sesuai dengan bidang keahliannya.
Pada fenomena ini, penulis lebih menyoroti
akademisi yang justru memanfaatkan kesempatan tersebut
untuk meraih keuntungan pribadi, daripada memberikan kontribusi nyata untuk
masyarakat. Seharusnya, kritik dan saran yang mereka berikan tak lebih bersifat tulus, demi
kesejahteraan bersama, bukan sekadar mencari keuntungan pribadi.
Heru Nugroho, dalam esai kritisnya (2012), menyebut fenomena tersebut dengan istilah intelektual pamer, sosok akademisi yang gemar tampil di media, memberi
komentar serba tahu, Heru menyebutnya sebagai fenomena “klobotisme” bunyi gemerisik kertas pembungkus rokok
yang tidak ada tembakaunya.
Konsep
klobotisme Heru Nugroho mengingatkan penulis pada salah satu kebanggaan
institusional, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya yang memperkenalkan dirinya sebagai
pengusung mazhab keilmuannya sendiri, istilahnya “Mazhab Islam Surabaya” Istilah yang
diperkenalkan Prof. Dr. Mukhammad Zamzami Rahimallah dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Islam Mazhab Surabaya dan
UINSA-isme”, sebuah istilah yang mengusung model integratif antara
agama dan sains sosial, atau yang mereka sebut “UINSA-isme”.
Prof.
Dr. Mukhammad Zamzaim dalam artikelnya meneyebut bahwa dalam satu
rentang waktu, tak kurang dari 455 disertasi lahir dari rahim Pascasarjana-nya.
Angka yang impresif, tentu malah justru
nyaris klise. Bagaimana begitu, dalam orasi Prof. Dr. Mukhammad Zamzami tersebut seakan menandai bahwa seabrek dosen hingga profesor di UINSA
cendrung terlampau sekedar berproduksi secara kuantitatif, namun miskin dalam
eksperimentasi ide dan keberanian epistemologis. Semacam kloning ilmiah di mana disertasi satu
dengan yang lain hanya variasi tema, yang perlu dipertanyaakan kembali akan perluasan paradigmanya. Pada akhirnya model integrasi keilmuan tak lebih dari bangunan Twin
Tower yang di gatuk-gatukan lalu diberi narasi filosofis.
Dalam peta keilmuan Islam di Indonesia, “UINSA-isme sebagai Mazhab Surabaya”
ini seakan ingin diposisikan
sebagai poros metodologis yang
melengkapi trinitas intelektual seperti
Ciputat, Sapen, dan Malang. Dari klaim
ratusan desertasi di atas seolah meninggalkan satu pertanyaan
mendasar atas apa konsekuensi intelektual dari semua itu, apakah justru seabrek tumpukan desertasi ini menyimpan
kualitas, atau sekedar menandai
gejala banalitas intelektual yang ada di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Penulis
: Fahmi A
Posting Komentar