no fucking license

Archive

Middle

Lorem lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed tempor and vitality, so that the labor and sorrow, some important things to do eiusmod. For now passes from soccer.
64y6kMGBSVhmzQfbQP8oc9bYR1c2g7asOs4JOlci

Recent

Bookmark

Klobotisme dan Mazhab Twin Tower : Banalitas Intelektual Studi Kasus di UIN Sunan Ampel Surabaya

Illustrasi AI
Pendidikan memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan berbangsa, sebagaimana tercermin dalam tujuannya: mengembangkan kemampuan berpikir kritis, melahirkan generasi yang mampu memecahkan masalah sosial, serta terlibat aktif dalam masyarakat untuk mendorong perubahan ke arah yang lebih baik. Pada akhirnya, pendidikan secara luas seharusnya menjadi sarana penciptaan nilai-nilai kemanusiaan yang universal..

Pendidikan dan segala instrumennya, seringkali menjadi momok pembahasan yang tak lekang usai, beragam perspektif dan teori dihadirkan guna membarengi agar dapat menyesuaikan dengan kondisi zaman. Mulai dari sistem dan mekanismenya, hingga soal-soal ketidakberesan ekonomi hingga omon-omon gaji dari anggaran pusat negara.

Mengawali pergulatan ini, penulis meminjam istilah Banalitas yang ditengahkan Hannah Arendt dalam bukunya “Eichman in Jerussalem: A Repot on the banality of Evil". Banalitas diistilahkan untuk menyebut kejahatan yang telah kehilangan ciri kejahatannya, atau dianggap wajar dan biasa-biasa saja. Analoginya begini, pelaku sebagai subjek yang melakukan kejahatan seakan tidak merasa melakukan kejahatan dan ia melakukannya sebagaimana adanya ia tanpa mengimajinasikan kondisi dari korban sebagai objek.

Hannah Arendt dalam buku tersebut mendeskripsikan situasi Eichman sebagai prajurit Nazi, terlebih Arendt mengungkapkan kondisi Eichman yang tidak merasa melakukan kesalahan saat membantai orang-orang Yahudi, Eichman merasa apa yang dilakukanya adalah tugas sekaligus kewajiban militer. Dan Eichman sendiri bukan orang yang bengis tidak seperti pelaku kejahatan / vis a vis dalam serial film Marvel. Ia sendiri adalah orang yang biasa saja yang berpikir konservatif, dan justru karena kelurusannyalah Eichman menjadi kehilangan daya nuraninya sebagai manusia.

Dari istilah tersebut, penulis gunakan sebagai landasan neraca untuk melihat bagaimana realitas pendidikan di toko ilmu (istilah Ki Hadjar Dewantara) tersebut. Meskipun demikian, tulisan ini tidak bertujuan untuk menilai secara negatif atau mendiskreditkan pihak manapun kecuali pertanyaan reflektif nantinya. Penulis hanya akan mengidentifikasi indikator-indikator yang menunjukkan adanya kebanalitasan intelektual dalam perguruan tinggi Khususnya di UIN Sunan Ampel Surabaya. Tidak lebih tujuan dari penulisan ini setidaknya memberikan gambaran objektif kepada setiap siapa saja yang membaca tulisan ini sekaligus yang jan-jane juga merasakan atau sebagai korban atas fenomena ini, sekali lagi tanpa ada maksud pragmatis atau kepentingan tertentu di baliknya.

Tentang Banalitas Intelektual

Banalitas intelektual mengacu pada keadaan di mana terjadi tiga hal utama terjadinya pendangkalan pemikiran yang tidak disadari oleh individu, penurunan kualitas akademik dan menurunnya kualitas intelektual.

Antara kulitas akademik dan kualitas intelektual Heru Nugroho (2012) dalam artikelnya menjelaskan. Kualitas akademik berkaitan dengan sejauh mana individu menguasai ilmu pengetahuan yang memberikan alat-alat untuk bekerja secara akademis, sementara kualitas intelektual lebih menekankan pada sejauh mana akademisi memiliki komitmen terhadap ilmu yang mereka jalani sebagai bentuk pengabdian.

Merosotnya kualitas akademik, Misal indikasinya dosen pengampu mata kuliah tidak menguasai mata kuliah yang diajarkan, atau tidak memiliki kapasitas pengetahuan dibidangnya sehingga justru malah berkontribusi atas kemorosotan intelektual mahasiswa sekaligus menggugurkan kewajibannya dengan menuntut mahasiswa menulis jurnal ilmiah dengan motif menjadi penulis pertama.

Lebih lanjut, pengertian intelektual di sini dimaksudkan pada proses intelektual yang ada dikampus. Adapun beberapa indikator banalitas intelektual yang ada di UIN Sunan Ampel Surabaya :

Pengkhianatan Akademik

Indikator pertama saat para akademisi baik yang profesional maupun awam lebih mementingkan nilai pragmatis atau lebih mencari keuntungan daripada mempertahankan nilai-nilai pengetahuan atas penciptaan nilai-nilai kemanusiaan dan tak sekedar memupuk citra.

Misalnya yang seharusnya dosen menjalankan tugas untuk mencetak mahasiswa untuk berpikir kritis akan nilai-nilai penting seperti kebenaran dan keadilan, justru menjadikan atribut dosen sebagai pekerjaan sampingan dan lebih mementingkan prioritas yang lebih untung, konsekuensinya tidak lagi mikirin kuliah, Ironisnya sampai perkuliahan ditiadakan kalau ndak gitu online. Adapun praktiknya sebenarnya banyak, ada yang menjual bukunya sendiri sebagai syarat kelulusan hingga omon-omon soal wakaf kemarin.

Mirisnya, dosen yang seperti ini malah dipertahankan oleh pihak UIN Sunan Ampel Surabaya, Meskipun begitu, setidaknya proses belajar mengajar menjadi prioritas utama, sebab proses ini bagian dari lillahita’ala, karena bukan soal gaji, melainkan soal generasi.

Pencitraan Intelektual dan Kloning Ilmiah

Fenomena ini sering kali muncul di dunia "jagat maya". Banyak dosen doctoral maupun professor yang biasanya diundang menjadi pembicara di seminar atau diskusi, yang fotonya dipajang-pajang di brosur atau flyer dan disebut-sebut sebagai ahli atau pakar.

Namun, kenyataannya, pemahaman mereka seringkali tidak sejalan dengan gelarnya. Tentu saja, tidak semua dosen atau akademisi seperti itu. Banyak juga akademisi yang benar-benar ahli ndakik-ndakik, tampil di platform seperti YouTube atau televisi, memberikan pemaparan sesuai dengan bidang keahliannya.

Pada fenomena ini, penulis lebih menyoroti akademisi yang justru memanfaatkan kesempatan tersebut untuk meraih keuntungan pribadi, daripada memberikan kontribusi nyata untuk masyarakat. Seharusnya, kritik dan saran yang mereka berikan tak lebih bersifat tulus, demi kesejahteraan bersama, bukan sekadar mencari keuntungan pribadi.

Heru Nugroho, dalam esai kritisnya (2012), menyebut fenomena tersebut dengan istilah intelektual pamer, sosok akademisi yang gemar tampil di media, memberi komentar serba tahu, Heru menyebutnya sebagai fenomena “klobotisme bunyi gemerisik kertas pembungkus rokok yang tidak ada tembakaunya.

Konsep klobotisme Heru Nugroho mengingatkan penulis pada salah satu kebanggaan institusional, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya yang memperkenalkan dirinya sebagai pengusung mazhab keilmuannya sendiri, istilahnya “Mazhab Islam Surabaya” Istilah yang diperkenalkan Prof. Dr. Mukhammad Zamzami Rahimallah dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Islam Mazhab Surabaya dan UINSA-isme”, sebuah istilah yang mengusung model integratif antara agama dan sains sosial, atau yang mereka sebut “UINSA-isme”.

Prof. Dr. Mukhammad Zamzaim dalam artikelnya meneyebut bahwa dalam satu rentang waktu, tak kurang dari 455 disertasi lahir dari rahim Pascasarjana-nya. Angka yang impresif, tentu malah justru nyaris klise. Bagaimana begitu, dalam orasi Prof. Dr. Mukhammad Zamzami tersebut seakan menandai bahwa seabrek dosen hingga profesor di UINSA cendrung terlampau sekedar berproduksi secara kuantitatif, namun miskin dalam eksperimentasi ide dan keberanian epistemologis. Semacam kloning ilmiah di mana disertasi satu dengan yang lain hanya variasi tema, yang perlu dipertanyaakan kembali akan perluasan paradigmanya. Pada akhirnya model integrasi keilmuan tak lebih dari bangunan Twin Tower yang di gatuk-gatukan lalu diberi narasi filosofis.

Dalam peta keilmuan Islam di Indonesia, “UINSA-isme sebagai Mazhab Surabaya” ini seakan ingin diposisikan sebagai poros metodologis yang melengkapi trinitas intelektual seperti Ciputat, Sapen, dan Malang. Dari klaim ratusan desertasi di atas seolah meninggalkan satu pertanyaan mendasar atas apa konsekuensi intelektual dari semua itu, apakah justru seabrek tumpukan desertasi ini menyimpan kualitas, atau sekedar menandai gejala banalitas intelektual yang ada di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Penulis : Fahmi A



Posting Komentar

Posting Komentar