no fucking license

Archive

Middle

Lorem lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed tempor and vitality, so that the labor and sorrow, some important things to do eiusmod. For now passes from soccer.
64y6kMGBSVhmzQfbQP8oc9bYR1c2g7asOs4JOlci

Recent

Bookmark

Simbol Perlawanan Baru : Bendera Bajak Laut One Piece Menjadi Ikon Protes di Indonesia

mediagramindo

Lentera Biru, (04/08). Menjelang HUT ke-80 RI, bendera bajak laut One Piece "Jolly Roger" berkibar di berbagai sudut Indonesia, viral sebagai simbol protes generasi muda. Mengapa bendera anime? Karena mereka menilai negara gagal mewujudkan keadilan sosial. Fenomena ini muncul organik di media sosial, tanpa mobilisasi formal, sebagai ekspresi kecewa terhadap elit politik. Pemerintah mengingatkan risiko terhadap simbol negara, sementara publik menilai ini bentuk kritik sah yang damai dan kreatif.

Dalam universe One Piece, Jolly Roger tidak semata-mata lambang kriminalitas. Ia melambangkan perlawanan terhadap Pemerintah Dunia dan korupsi struktural, serta cita-cita kebebasan, keadilan, dan solidaritas antarpirate. Kru Topi Jerami yang dipimpin oleh Monkey D. Luffy digambarkan sebagai sosok yang membela kelompok tertindas, menentang penindasan negara, dan rela berkorban demi prinsip moralnya. Narasi ini menemukan resonansi kuat di kalangan warga yang merasa bergulat dengan kenyataan ketidakadilan sosial-politik di Indonesia saat ini mulai dari impunitas korporasi, UU lingkungan yang melemahkan pengawasan, hingga kebijakan Kamtibmas seperti UU Cipta Kerja yang dianggap melemahkan perlindungan rakyat kecil .

Interpretasi simbolik pun mengerucut bagi banyak orang, pengibaran Jolly Roger merupakan kritik terhadap elit politik dan birokrasi yang kerap diidentikkan sebagai "bajak laut" masa kini yang menguras sumber daya rakyat tanpa memberi keadilan yang setimpal. Penggunaan simbol ini merupakan ekspresi marah sekaligus damai protes tanpa kekerasan, disampaikan lewat bahasa budaya pop yang mudah dipahami dan menyerap secara emosional.

Seorang pengamat publik, Gigin Praginanto, menyebut bahwa barang kali Presiden perlu menyadari bahwa rakyat telah kehilangan gairah terhadap pidato berapi-api yang penuh fantasi belaka, dan telah mengambil ekspresi melalui bendera alternatif pada peringatan 17 Agustus.

Gerakan ini tidak lahir dari mobilisasi resmi, apalagi digerakkan oleh organisasi massa tertentu. Berdasarkan pemantauan digital melalui “Drone Emprit” dan “Evello”, tren pengibaran bendera One Piece muncul secara organik. Fenomena ini didorong oleh beberapa faktor. Rasa ingin ikut tren (FOMO), humor bernada sarkastik, dan pesan tersembunyi berupa ketidakpercayaan publik terhadap institusi formal.

Melihat hal ini, budaya pop melalui simbol yang bersifat eco-fiction menjadi ruang aman bagi masyarakat untuk menyalurkan kegeraman mereka, tanpa harus berhadapan langsung dengan risiko kriminalisasi.

Namun, simbol ini tak lepas dari kritik. Pihak pemerintah menegaskan bahwa pengibaran bendera selain Merah Putih apalagi jika dikibarkan lebih tinggi berisiko menodai makna sakral identitas nasional. Direktur Jenderal Politik dan Administrasi Umum menyampaikan bahwa meskipun tidak ilegal, warga sebaiknya tetap menomorsatukan simbol kebangsaan sebagai pemersatu bangsa.

Bahkan Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menyebut fenomena ini sebagai potensi ancaman terhadap persatuan nasional, menuduh ada upaya terkoordinasi untuk memecah belah bangsa. Di sisi lain, Partai Demokrat Indonesia Perjuangan berpendapat simbol ini adalah bentuk kritik sah yang lebih baik daripada demonstrasi massal berisiko rusuh.

Fenomena ini menyentuh ketegangan antara simbol formal negara dengan simbol tandingan dari dunia fiksi. Bagi sebagian masyarakat, Jolly Roger menggantikan membutuhkan pertanyaan besar apakah bangsa ini masih sejajar dengan semangat pendiri republik? Apakah kemerdekaan sejati hanya sekadar simbol seremonial belaka? Apakah generasi muda benar-benar merasakan kebebasan dan keadilan, atau justru terkungkung oleh sistem yang semakin menegasi suara rakyat?.

Menariknya, pengibaran Jolly Roger tak sepenuhnya anti-nasionalisme. Banyak yang mengibarkannya berdampingan atau di bawah Merah Putih, menunjukkan bahwa cinta tanah air tetap ada namun cinta itu dipadukan dengan kekecewaan terhadap realitas sosial-politik. Di balik bendera hitam itu tersimpan harapan perubahan, solidaritas dengan kelompok terpinggirkan, dan tekad untuk merawat cita-cita kemerdekaan yang terasa rapuh.

Dari sudut pandang budaya, fenomena ini menandai pergeseran penting. Budaya pop kini tidak lagi sekadar menjadi hiburan, tetapi juga berfungsi sebagai media politik-kultural dan kanal alternatif untuk mengekspresikan kritik sosial.

Berbagai elemen budaya pop mulai dari anime, meme, cosplay, hingga simbol-simbol fandom dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan politik yang dekat dengan identitas digital generasi muda. Cara ini mempersingkat jarak antara rakyat dan elite, melalui komunikasi visual yang terasa lebih akrab, mudah diterima, dan spontan.

Sebagai refleksi kritis, fenomena ini mendorong pertanyaan mendalam apakah pemerintah dan institusi kebijakan mampu menyikapi simbol budaya dengan cara dialogis, bukan represif? Apakah ruang publik masih terbuka untuk protes kreatif berbasis kebebasan berekspresi? Ketika bendera anime mengusik tatanan simbol resmi, seharusnya bukan reaksi keras yang muncul, melainkan panggilan untuk memperbaiki hubungan antara warga dan pemerintah.

Secara konseptual, Jolly Roger telah menempati posisi sebagai ikon politik kultural ia bukan menggantikan simbol nasional, melainkan menjadi pengingat bahwa upaya merdeka secara semantik belum cukup kemerdekaan mesti dirasakan secara nyata dalam kehidupan sosial-ekonomi yang adil. Ketika simbol dari dunia fiksi terasa lebih mewakili keresahan masyarakat daripada simbol resmi yang dijunjung tinggi, itu sinyal kelegitimasi simbol kenegaraan sedang diuji.

Pada akhirnya, bendera One Piece menjadi representasi pergumulan batin bangsa muda cinta tanah air sekaligus ketidakpuasan terhadap kondisi saat ini. Ia menyuarakan bahwa bangsa ini belum selesai dengan perjuangannya. Di situlah letak pentingnya fenomena ini ia memaksa kita untuk menghadapi pertanyaan kritis, apakah kemerdekaan hanya milik rentetan pidato dan parade, atau menjadi realitas hidup yang dirasakan oleh rakyat.


Penulis : Dennia Shinenauky Niza

Posting Komentar

Posting Komentar