no fucking license

Archive

Middle

Lorem lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed tempor and vitality, so that the labor and sorrow, some important things to do eiusmod. For now passes from soccer.
64y6kMGBSVhmzQfbQP8oc9bYR1c2g7asOs4JOlci

Recent

Bookmark

Dengar Musik Gratis, Negara Kasih Karcis

Ilustrasi AI

Lentera Biru, (06/08). Sejak penegakan Peraturan Pemerintah No. 56 tahun 2021 diperketat tahun ini, pelaku usaha seperti kafe dan restoran di berbagai kota wajib membayar royalti atas pemutaran musik, termasuk dari platform streaming seperti Spotify. Kebijakan dari Kemenkumham ini menuai protes, terutama dari Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), karena dianggap membebani usaha. Lisensi dikelola Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dengan skema pembayaran berdasarkan jumlah kursi. Bagi yang abai, sanksi hukum dan gugatan dari pencipta lagu mengintai.

Polemik royalti musik kembali mengemuka ketika pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM dan LMKN, mempertegas kewajiban pembayaran royalti bagi pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk melalui layanan streaming seperti Spotify, Joox, atau YouTube Music. 

Kebijakan ini merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 yang mengatur bahwa setiap penggunaan lagu dan musik secara komersial wajib mendapatkan lisensi dan membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak. Praktik ini bukanlah hal baru, namun penegakan yang lebih ketat di tahun 2025 menimbulkan riak perlawanan, khususnya di kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang selama ini menjadi penyangga utama industri kuliner dan ruang sosial budaya masyarakat urban.

Pelaku usaha mempertanyakan logika keadilan di balik penerapan tarif royalti yang dipatok sebesar Rp120.000 per kursi per tahun. Meskipun angka tersebut diklaim sebagai “yang termurah di dunia” oleh Ketua LMKN Dharma Oratmangun, banyak pelaku usaha kecil menilai besaran ini tidak proporsional jika dibandingkan dengan daya beli masyarakat dan tingkat margin usaha. Di berbagai kota seperti Surabaya, Jakarta, hingga Yogyakarta, sejumlah kafe bahkan memilih untuk mematikan musik, atau menggantinya dengan suara ambient alam dan lagu-lagu asing yang tidak terikat pada database LMKN. Keputusan ini lahir dari kecemasan akan potensi denda atau tuntutan hukum, sekaligus sebagai bentuk protes diam-diam terhadap kebijakan yang dirasa tidak berpihak kepada pelaku usaha kelas menengah ke bawah.

Haka Wallessa, perwakilan Apkrindo Jawa Timur, menyatakan bahwa kebijakan ini menambah beban biaya operasional yang sudah berat, apalagi di tengah lesunya daya beli konsumen pasca-pandemi dan tekanan inflasi yang terus membayangi.

“Kami sudah berlangganan Spotify resmi. Tapi kemudian masih diwajibkan membayar royalti lagi. Ini bukan insentif bagi pelaku usaha, ini beban ganda,” ungkapnya seperti dikutip dari Jawa Pos

Dalam praktiknya, pelaku usaha diminta melakukan self-assessment jumlah kursi efektif dan membayar royalti sesuai kapasitas, namun sosialisasi yang lemah dan kerumitan administratif menjadikan proses ini tidak efisien, bahkan membingungkan.

Di sisi lain, para pencipta lagu dan aktivis musik menegaskan bahwa royalti adalah hak dasar yang dijamin undang-undang dan merupakan bentuk penghargaan terhadap karya intelektual. Forum Ekonomi Kreatif Musik Indonesia (FESMI), bersama beberapa musisi nasional seperti Yovie Widianto dan Cholil Mahmud, menyatakan bahwa royalti bukan beban, melainkan instrumen keadilan budaya yang memungkinkan seniman tetap berkarya dalam ekosistem yang berkelanjutan. 

Mereka juga mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem pendataan melalui SILM (Sistem Informasi Lagu dan Musik) agar distribusi royalti lebih adil dan transparan. Namun, mereka pun menyadari bahwa tanpa keterlibatan pelaku usaha dalam proses penyusunan kebijakan, upaya ini bisa berubah menjadi monolog sepihak dari negara kepada pasar.

Menteri Sekretaris Negara dan Kementerian Pariwisata menyampaikan bahwa pemerintah sedang membuka ruang dialog multipihak untuk merumuskan skema yang lebih proporsional, khususnya bagi UMKM. Mereka mengakui bahwa regulasi saat ini belum sepenuhnya mempertimbangkan variabel sosial-ekonomi pelaku usaha kecil, terutama dalam konteks pemanfaatan musik sebagai elemen pelengkap suasana, bukan sebagai produk utama usaha.

Namun secara struktural, masalah ini mencerminkan persoalan yang lebih dalam, ketimpangan dalam desain kebijakan ekonomi Indonesia yang cenderung timpang dalam menempatkan pelaku usaha menengah ke bawah. Dalam banyak kebijakan fiskal dan non-fiskal, kelas ini kerap luput dari peta dukungan yang adil. Mereka terlalu besar untuk disubsidi, tetapi terlalu kecil untuk dilindungi. Polemik royalti musik hanyalah satu contoh dari tumpukan masalah serupa yang dialami kelompok ini dari digitalisasi pajak, aturan BPJS, hingga tuntutan sertifikasi usaha yang datang bertubi-tubi tanpa mekanisme pendampingan yang memadai.

Secara budaya, kebijakan royalti yang tidak disertai strategi pelibatan yang adil justru dapat memicu efek balik yang merugikan musik nasional itu sendiri. Ketika pelaku usaha lebih memilih memutar musik asing karena tidak diawasi atau tidak tertagih royalti, maka potensi disrupsi terhadap ekosistem musik lokal menjadi nyata. Situasi ini ironis, sebab negara justru menjadi aktor yang tanpa sadar melemahkan daya siar karya anak bangsa di ruang-ruang sosialnya sendiri. Tanpa penyesuaian kebijakan yang adil, kebebasan mendengar musik yang semestinya menjadi nikmat universal, kini harus ditebus dengan karcis administrasi meski bukan dari Tuhan, tapi dari negara.

Fenomena ini mengundang ironi tersendiri dalam lanskap tata kelola negara. Ketika masyarakat menikmati musik dari layanan streaming yang secara teknis sudah berbayar, negara justru hadir belakangan dengan “Karcis Legalitas” yang memungut royalti atas ruang dengar publik. Seolah-olah, kenikmatan mendengar yang sebelumnya gratis atau minimal sudah dibayar konsumen melalui langganan digital masih harus ditebus ulang dengan tarif dari negara. 

Dalam konteks negara hukum yang seharusnya menjamin proporsionalitas dan keadilan distribusi beban, kebijakan seperti ini tampak lebih mencerminkan pendekatan fiskal yang serampangan daripada penghormatan terhadap hak kekayaan intelektual. Maka tak heran jika publik bergumam Dengar musik gratis, Negara kasih karcis. Sebuah satire kebijakan yang membunyikan nada sumbang di tengah upaya membangun ekosistem kreatif yang inklusif.


Penulis : Syafrial A

Posting Komentar

Posting Komentar