no fucking license

Archive

Middle

Lorem lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed tempor and vitality, so that the labor and sorrow, some important things to do eiusmod. For now passes from soccer.
64y6kMGBSVhmzQfbQP8oc9bYR1c2g7asOs4JOlci

Recent

Bookmark

Peta Risiko Nasional Keracunan Pangan MBG: Klaster Keracunan MBG dan Kesenjangan Wilayah

Foto: setneg.go.id

Lentera Biru, (10/10). Terhitung dalam sepekan terakhir sedikitnya 1.833 orang menjadi korban keracunan pangan dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), dengan kasus terbanyak terjadi di Jawa Timur. Lonjakan kasus ini bukan sekadar insiden lokal, melainkan menyingkap kelemahan struktural dalam tata kelola pangan nasional.

Program MBG yang diluncurkan pemerintah untuk meningkatkan gizi anak sekolah justru menghadapi ancaman serius akibat absennya sistem peta risiko nasional yang mampu mengantisipasi titik rawan keracunan. Tanpa pemetaan risiko yang sistematis baik dari aspek rantai pasok pangan, sanitasi dapur sekolah, hingga kapasitas petugas pengawasan program ini berpotensi berubah menjadi bom waktu kesehatan masyarakat.

Pemerintah pusat melalui Badan Gizi Nasional (BGN) mulai menunjukkan respons terhadap lonjakan kasus keracunan pangan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Pada Minggu, 5 Oktober 2025. BGN menggelar pelatihan terhadap 1.800 penjamah makanan dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Bogor dan Sukabumi, sebagai langkah antisipatif untuk mencegah kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan.

“Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari hasil rapat terbatas dengan presiden. Tujuan kami adalah memastikan penjamah makanan lebih disiplin menerapkan standar kebersihan dan sanitasi, sehingga terhindar dari potensi kontaminasi yang dapat menimbulkan keracunan,” ujar Nurjaeni, Direktur Penyediaan dan Penyaluran Wilayah II BGN, dalam keterangan di Bogor (DetikNews, 5/10/2025).

Langkah ini muncul setelah data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 1.833 kasus keracunan pangan hanya dalam kurun satu minggu, dengan Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah kasus tertinggi. Sebagian besar korban adalah peserta didik dan masyarakat sekitar sekolah yang ikut mengonsumsi paket makanan MBG.

Di sejumlah daerah, keluarga korban menuturkan pengalaman mereka dengan nada getir. Seorang wali murid di Kabupaten Jombang, misalnya, mengaku anaknya mengalami mual dan muntah hebat setelah menyantap menu MBG.

“Awalnya kami kira anak masuk angin, tapi setelah banyak anak di sekolah yang mengalami hal serupa, barulah kami sadar itu dari makanan sekolah,” ujar R (inisial), salah satu orang tua murid, sebagaimana dikutip dari laporan lapangan JPPI yang dihimpun Tempo.co.

Sementara itu, sejumlah pejabat pemerintah daerah menekankan bahwa pelaksanaan MBG dilakukan sesuai panduan teknis. Namun, mereka mengakui keterbatasan sumber daya, terutama dalam pengawasan keamanan pangan di dapur sekolah dan minimnya tenaga sanitarian yang bertugas secara rutin di lapangan. Beberapa kabupaten bahkan tidak memiliki tenaga SPPG yang mencukupi, sehingga pengawasan dilakukan secara bergilir dan tidak konsisten.

Situasi ini memperlihatkan adanya ketimpangan kapasitas antarwilayah dalam menjalankan program pangan nasional, di mana daerah dengan sumber daya terbatas lebih rentan mengalami kejadian luar biasa (KLB) keracunan. Tanpa sistem peta risiko nasional yang memetakan kerentanan wilayah secara jelas baik dari aspek infrastruktur, kompetensi SDM, maupun logistik pangan respon pemerintah cenderung reaktif, bukan preventif.


Penulis: Syafrial A.

Posting Komentar

Posting Komentar