Lentera Biru, (08/10). Mahasiswa sejak lama dipandang sebagaı agent of change, yaitu sebagai motor penggerak perubahan sosial, politik, dan budaya yang berani membawa perubahan dengan melawan ketidakadilan. Jika kita berhenti sejenak dan melihat kebelakang, peran mahasiswa tercatat jelas dalam berbagai momentum besar dalam sejarah, mulai darıi pergerakan nasıonal awal abad ke-20, peristiwa 1966, hingga reformasi 1998. Namun, dewasa ini muncul kegelisahan bahwa ıidentitas tersebut kian memudar. Sebutan “agent of change” itu semakin terasa sebagai jargon kosong. Kampus yang seharusnya menjadi ruang pencerahan telah berubah menjadi “pabrik ijazah.” Mahasiswa hanya sekedar hadir, absen, mengumpulkan tugas, sebat, lalu pulang. Sehingga, reorientasi pendidikan tidak lagi mengacu pada transformasi sosial, melainkan pada selembar kertas bertuliskan gelar.
Jurgen Habermas menyebut ini sebagai dominasi rasionalitas instrumental: belajar hanya demi kepentingan pragmatis. Padahal, pendidikan mestinya mendorong rasionalitas emansipatoris: belajar (pendidikan) yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari penindasan. Akan tetapi, realitas perguruan tinggı kita tampaknya lebih sibuk melahirkan pekerja patuh ketimbang intelektual kritis.
Adorno dan Horkheimer bahkan sejak 1994 sudah mengingatkan bahaya culture industry atau segala sesuatu sudah diatur, distandarisasi, dan dikomodifikasi agar manusia menjadi pasif. Gejala in tampak terlihat nyata di kampus: mahasiswa bergelut dengan tugas, organisasi mahasiswa dengan acara seremonialnya, dosen sibuk dengan administrasi, dekanat dengan akreditasi, dan rektor sibuk mengatur efisiensi. Sementara di sisi lain, ruang dialog kritis semakin sempit. Mahasiswa kini lebih takut ketinggalan tren pasar kerja daripada ketinggalan diskursus intelektual dan kehilangan keberanian untuk berbeda, apalagi melawan.
Lalu, tinggal apa yang tersisa darı identitas mahasiswa?
Paulo Freire mengingatkan pentingnya membangun kesadaran kritis. Melalui keberanian untuk membaca realitas, membongkar struktur yang menindas, dan bertindak untuk mengubahnya. Tanpa itu, mahasiswa hanyalah konsumen pendidikan, bukan sebagai penggerak perubahan.
Maka, setelah kita memahami bahwa mahasiswa direduksi menjadi sekadar “konsumen pendidikan,” langkah berikutnya adalah mencari cara untuk merebut kembali ruang emansipasi itu. Inilah saatnya kita bertanya: apa yang mesti dilakukan agar mahasiswa tidak berhenti sebagai penerima warisan, melainkan pencipta perubahan?
Hal yang harus segera dilakukan sekarang adalah menghidupkan kembali ruang diskursus bebas. Mahasiswa bisa mulai dengan memanfaatkan ruang kelas sebagai arena pertarungan gagasan, bukan sekedar membaca PPT di layar dan melıhat jarum jam berputar. Melainkan, mahasiswa ikut aktif dalam diskursus pembelajaran di kelas. Bisa juga dengan sedikit memancıng menggunakan isu yang sedang trend, agar suasana kelas tetap dalam kondisi aktif, tidak menjadi suram dan mencekam. Tak berhenti di situ, di luar kelas, mahasiswa juga harus berani menginisiasi untuk membuat study circle kecil-kecilan, forum dialektika lintas disiplin, hingga diskusi terbuka di ruang-ruang publik digital. Bukan untuk mengejar sertifikat kegiatan, melainkan sebagai latihan membaca realitas dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Penulis: Maftuch Fuadi
Posting Komentar