Lentera Biru, (21/10). Realitas sosial kita masih banyak
menyimpan pandangan yang keliru terkait moralitas dan perempuan. Pada
ruang-ruang sosial, mulai dari perbincangan sehari-hari hingga forum akademik, perempuan
masih kerap disudutkan sebagai sumber kesalahan dalam persoalan moralitas.
Tidak jarang ketika perempuan yang hanya sekadar berbicara atau berinteraksi
dengan laki-laki kerap dicurigai seolah tubuh dan perilakunya selalu membawa
risiko moral bagi laki-laki, bahkan dilabeli dengan tuduhan yang merendahkan
martabatnya. Yang lebih mengejutkan lagi, ada anggapan bahwa perbuatan zina
penyebab utamanya karna perempuan itu sendiri yang memancing. Pandangan seperti
ini menunjukkan sebagian masyarakat masih menempatkan perempuan sebagai pusat
kesalahan moral, seolah-olah perempuan merupakan sumber dosa yang harus
diwaspadai.
Pandangan semacam itu jelas keliru. Ia
lahir dari cara berpikir patriarkal yang menumpahkan beban moralitas kepada
perempuan dan menempatkan laki-laki sebagai korban dari dorongan nalurinya
sendiri. (Bell Hooks, 2019) menyebut mekanisme seperti ini merupakan bentuk
moral displacement atau pengalihan tanggung jawab yang membuat laki-laki
tetap dominan secara moral, sementara perempuan terus diawasi dan dihakimi. Di tengah
narasi yang terus menyalahkan perempuan, jarang sekali muncul ajakan agar
laki-laki meninjau ulang perilaku dan cara pandang mereka sendiri. Mengapa
bukan para laki² itu saja yang mengubah cara pandang mereka terhadap perempuan?
Kapan laki-laki belajar menghormati? Tanggung jawab menjaga pandangan dan
mengendalikan nafsu bukanlah beban yang hanya diletakkan di pundak perempuan,
melainkan kewajiban etis yang melekat pada setiap manusia.
Faktanya bahwa perempuan yang
berbusana tertutup, perempuan berhijab, dan berperilaku sopan pun masih
berpotensi menjadi korban pelecehan. Hal ini menunjukkan bahwa akar persoalan
bukan terletak pada pakaian atau sikap perempuan, melainkan pada cara sebagian
laki-laki memandang perempuan. Jika pandangan itu selalu diliputi oleh
objektifikasi dan dorongan dominasi, maka tidak akan ada ruang aman bagi
perempuan di manapun mereka berada.
Sudah waktunya laki-laki berhenti
bersembunyi di balik dalih yang menyalahkan perempuan, seolah-olah mereka pihak
yang “menggoda” atau “memancing dosa.” Kesalahan moral tidak pernah ditentukan
oleh jenis kelamin, tetapi oleh pilihan sadar dan tindakan setiap individu.
Ketika moralitas terus dipusatkan pada tubuh perempuan, masyarakat justru
kehilangan arah dalam memahami makna tanggung jawab. Karena itu, mengubah cara
pandang menuju etika yang berlandaskan kesetaraan adalah langkah penting untuk
membangun peradaban yang lebih adil dan manusiawi.
Penulis: Dennia Shinenauky Niza
Posting Komentar