Lentera Biru, (15/10). Pada 9 Oktober 2025, Senat Amerika Serikat secara bulat mencabut Authorization for Use of Military Force (AUMF) 2002 otorisasi yang menjadi dasar invasi Irak. Langkah bipartisan yang dipimpin Senator Tim Kaine dan Todd Young ini disebut sebagai kemenangan pengawasan Kongres atas kekuasaan perang presiden. “We are finally closing a dark chapter of endless wars” ujar Kaine dalam pernyataan resminya di Capitol Hill. Namun, sejumlah pakar memperingatkan paradoks berbahaya di balik langkah tersebut. Tanpa kerangka hukum pengganti, pencabutan ini justru menciptakan kekosongan otorisasi yang dapat dimanfaatkan presiden untuk memperluas klaim inherent war powers, membuka ruang unilateralisme eksekutif yang lebih besar di masa depan.
Profesor Oona Hathaway dari Yale
Law School menilai bahwa absennya batasan baru memberi ruang bagi interpretasi
konstitusional yang longgar. “When Congress repeals without replacing, the
President fills that vacuum with constitutional interpretations that expand
executive power” ujarnya. Ironisnya, AUMF 2001 yang lebih luas dan telah
digunakan untuk operasi di sedikitnya 19 negara tetap berlaku tanpa revisi.
Penelitian Ruys dan Corten (2022) menunjukkan bahwa AS kini menjadi
satu-satunya demokrasi besar tanpa mekanisme renewal atau batasan
geografis yang jelas. Sementara itu, konsensus bipartisan yang jarang terjadi
justru menjadi tanda bahwa pencabutan ini bersifat simbolik, bukan substantif,
sebagaimana diungkap Kriner dan Shen (2020) dalam American Political Science
Review.
Tanpa replacement framework yang memuat batas waktu, wilayah operasi, dan mekanisme pelaporan ketat, pencabutan AUMF 2002 berisiko menjadi “repeal trap” yang memperkuat kekuasaan eksekutif. Reformasi sejati membutuhkan keberanian politik untuk membangun sistem pengawasan baru. Jika tidak, sejarah akan mencatat langkah ini sebagai kemenangan simbolik yang membuka jalan bagi presidential overreach berikutnya.
Penulis: Nur Afandi
Posting Komentar