![]() |
Pics by : Media Lentera Biru |
Barangkali, kalau Ki
Hajar Dewantara masih hidup dan diajak duduk di meja diskusi, pasti dia akan
terkekeh mendapati realitas absurd di perguruan tinggi kita hari ini wa bil
khusus UIN Sunan Ampel Surabaya—di mana jabatan rektor lebih menyerupai gelar
bangsawan daripada pemimpin intelektual. Seperti memasuki teater aristokrasi,
rektor seakan terjebak dalam bayang-bayang kemapanan yang sarat protokoler layar kaca, kampus berdiri gagah
layaknya menara gading, jauh dari realitas masyarakat yang di istilahkan Ki
Hajar Dewantara sebagai buruh intelektual. Namun, bukan itu yang perlu
digarisbawahi.
Hari ini, rektor yang dulu dianggap sebagai figur akademik dengan otoritas intelektual malah kehilangan taji. Peran mereka bukan lagi sebagai juru bicara ide-ide progresif atau pendorong inovasi, tapi hanya menjadi perpanjangan tangan dari sistem aristokrasi yang kian mapan. Ini bukan soal personal, tapi lebih pada struktur kekuasaan yang mencengkram. Istilah rektor ini terpaksa menjadi simbol formalitas birokrasi,
Banalitas intelektual di sini bukan sekadar lelucon belaka. Pasalnya ini adalah kenyataan pahit yang kita hadapi, di mana ide-ide besar dikerdilkan oleh tuntutan birokrasi, dokumen, dan pencapaian angka-angka. Publikasi ilmiah? Oh, jangan salah paham. Alih-alih menjadi medan pertempuran gagasan yang hidup, kini lebih mirip koran pembungkus pecel lele yang dirayakan sebagai pencapaian intelektual, tapi malah tersesat pada formalitas administratif dan orientasi pasar. Yang ada hanyalah rutinitas absurd, sebuah paradoks di tengah hiruk-pikuk modernitas akademik yang seharusnya menjanjikan kebebasan berpikir.
Meminjam istilah Heru Nugroho dalam pidato atas penguikuhannya sebagai guru besar sosiologi UGM tahun 2012. Sebagaimana beliau menjelaskan adalah wajar jika dicurigai memiliki kepentingan kuasa di dalamnya, yakni sebagai bagian dari hasrat kuasa akademisi dalam produksi pengetahuan untuk menciptakan ketidakstabilan makna karena penolakan terhadap objektivitas (Nugroho, 2012). Menyoal banalitas Intelektual tentunya sangat terbuka kemungkinannya untuk dicurigai sebagai bagian dari fenomena formalitas birokrasi guna memenuhi persyaratan akademis.
Tentang Banalitas Intelektual
Banalitas intelektual
merupakan sebuah kondisi yang ditandai dengan beberapa hal: Pertama,
pendangkalan pemikiran yang tidak disadari. Kedua, merosotnya kualitas
akademik. Ketiga, kualitas intelektual. Kualitas akademik dapat merujuk pada
tingkat penguasaan ilmu yang menyediakan peralatan-peralatan kerja akademik
sedang kualitas intelektual merujuk pada komitmen akademisi terhadap ilmu
sebagai bidang pengabdian. Sebagai ilustrasi penulis gambarkan realitas yang
sering terjadi di UIN Sunan Ampel Surabaya. Banyak dosen yang tidak memiliki
kapasitas dan tidak mempu menguasi teori-teori sebagai bagian dari piasu
analisis untuk memahami realitas kekinian, cenderung dosen-dosen hanya
menyampaikan teori hanya sebatas kesimpulan-kesimpulan atau hanya sekedar
daftar pustaka. Ilustrasi kedua dari merosotnya kualitas intelektual yang ada
di UIN Sunan Ampel Surabaya, banyak dari dosen-dosen menuntut untuk melakukan
penelitian dan menulis jurnal hanya semata-semata untuk memenuhi persyaratan
akademis, dan menjadi sesuatu yang wajar karena telah menjadi ajang perlombaan,
hal ini ditambah lagi dari peraturan negara yang banyak memberi
persyaratan administratif untuk kenaikan pangkat, yang memang harus
dipenuhi.
Tentang istilah
banalitas mengingatkan kepada istilah yang ditengahkan oleh Hannah Arendt dalam
karyanya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil
Artinya sebuah kejahatan yang kehilangan ciri-ciri jahatnya sering dianggap
biasa dan wajar. Fenomena ini, yang dikenal sebagai banalitas kejahatan, muncul
karena dangkalnya refleksi manusia terhadap situasi-situasi yang menyangkut
kejahatan. Dalam kondisi ini, kemampuan untuk berpikir kritis menjadi hilang.
Pelaku kejahatan pun tidak mampu membayangkan dirinya berada dalam posisi
korban (Haryatmoko, 2010: 51).
Hannah Arendt
menggunakan istilah "banalitas kejahatan" untuk menggambarkan
pengalaman yang dialami oleh Eichmann, seorang prajurit Nazi. Eichmann tidak
merasa telah melakukan kejahatan terhadap kaum Yahudi; ia hanya menganggap
dirinya menjalankan kewajiban dalam kesatuannya. Bahkan, ia mengusulkan untuk
mempertanyakan aturan-aturan dasar di satuannya, merasa berhak atas kenaikan pangkat
setelah menjalankan tugas (Wattimena, 2011). Eichmann bukan sosok yang bengis
atau jahat seperti karakter antagonis dalam kisah superhero. Ia adalah orang
biasa yang berpikir lurus, dan justru karena kelurusannya itulah ia kehilangan
kemampuan untuk berpikir kritis. Ada beberapa indikator banalitas yang sering
ditemui di UIN Sunan Ampel Surabaya.
Pengkhianatan
Akademik
Pengkhianatan
akademik dapat ditandai dari beberapa realitas yang sering terjadi yakni;
Cenderung para akademisi lebih mementingkan niai-nilai pragmatis dari pada
nilai-nilai ilmu pengetahuan. Jika idealnya para akademisi yang seharunsya
melakukan tugas refleksi kritis membangun nilai-nilai abstrak yang abadi
seperti kebenaran, keadilan namun masih terjebak pada kepentingan-kepentingan pragmatis
untuk meningkatkan pendapatan. Contohnya: Banyak dosen yang lebih mementingkan
pekerjaan sampingannya di luar kota, sehingga tidak cukup banyak waktu
beraktivitas di kampus dan meninggalkan waktu kuliah, konsekuensinya
perkuliahan seringkali diliburkan atau tidak mengajar sama sekali. Istilah
populernya Lillahi ta’ala. Ini bukan soal gaji, melainkan soal generasi.
Intelektual Pamer
Fenomena intelektual
pamer dapat ditandai banyak dari para akademisi yang secara instan mendapat
predikat sebagai seorang ahli, fenomena seringkali terjadi banyak dosen yang
diundang untuk menjadi pembicara dalam seminar-seminar atau lingkar diskusi
yang tercantum dalam flayer-flayer sebagai seorang pakar / Profesionalitas
sedangkan soal pemahaman, justru cenderung tidak sesuai dengan sebutan pakar.
Pasalnya dalam hal ini Heru Nugroho memapaparkan akademis yang hanya
mencakar-cakar hanya untuk keuntungan dari pendapat yang disampaikan. Dosen
–komentar yang disampaikan hanya menjadi tontonan Ci-luk-ba. Heru Nugroho menyebutnya
dengan istilah fenomena klobotisme (Pembungkus rokok).
UINSA Tidak
berkontribusi terhadap perkembangan kajian Islam?
Kembali pada rektor,
jabatan ini tak ubahnya sebuah simbol kekuasaan yang terbelit protokol
aristokratik, di mana mereka lebih terlihat seperti seorang pengurus negara versi lite daripada seorang
pemimpin akademik. Dalam bayang-bayang aristokrasi yang semakin mapan, rektor
bukanlah agen perubahan radikal, melainkan penjaga gawang sistem yang sudah
mapan. Bukan karena mereka tidak ingin, tapi struktur dan mekanismenya yang
memang dirancang untuk menjaga agar perubahan hanya sebatas di permukaannya saja. Sebagai mana kampus
islam negeri yang seharusnya juga berkontribusi terhadap perkembangan kajian
keislaman.
Seperti yang
dungkapkan dari maqolah Prof. Dr Mukhammad Zamzami, Lc., M. Fil.I menyoal mazhab keilmuan yang
ada di UIN Sunan Ampel Surabaya. Hingga saat ini terangnya belum ada satu pun
karya ilmiah mengenai kontribusi akademisi UIN Sunan Ampel Surabaya. Hal ini
menjadi fakta dan latar belakang, Prof. Zamzami menelusuri disertasi mahasiswa
UINSA dari tahun 2004 – 2019. Namun, fakta yang ditemukan hanya sekedar deretan
angka dan formalisme intelektual. Itulah mengapa harapan Prof. Zamzami dimana
riset-riset UINSA memunculkan karakteristik kampus per hari ini dari
Muzakkisme, Ehh, Twin-towerisme
menjadi UINSA-Isme yang sifatnya universal.
Perlu diketahui juga
dimana Aristokrasi modern di dunia akademik inilah yang akhirnya melahirkan
sesuatu yang disebut banalitas intelektual. Sulit untuk tidak tersenyum kowa-kowo melihat fenomena ini.
Dalam satu sisi, kita memuja "inovasi" dan "progresivitas,"
tapi di sisi lain kita terjebak dalam siklus intelektual yang dangkal dan
terisolasi dari tantangan-tantangan nyata di luar kampus. Lihatlah para lulusan
kita—mereka dibekali dengan gelar, tapi di mana keberanian intelektualnya, bak berhala? Di mana daya
kritisnya? Semua terbenam dalam formalitas dan birokrasi yang kaku dan ita-itu.
Lebih jauh, fenomena
"Menara Twin Tower" ini tak hanya berlaku dalam fisik bangunan kampus
yang megah, tapi juga mencerminkan mentalitas tertutup yang tumbuh di dalamnya.
Institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi jembatan antara akademik
dan masyarakat kini justru terisolasi, tak mampu lagi membaca denyut nadi
sosial. Bukan hanya dari segi kebijakan, tapi juga dari orientasi intelektual
yang kian menjauh dari realitas sosial yang dihadapi oleh masyarakat.
Seharusnya kitalah
sebagai masyarakat UINSA dapat jujur dan membuka topeng ini, menguak realitas
di balik dinding-dinding twin tower yang tampak megah, namun kosong secara
intelektual. Apakah rektor-rektor kita dipilih karena kualitas intelektualnya
ataukah mereka hanya pion-pion dalam permainan kekuasaan elit yang kian mapan?
Apakah kita masih bisa berharap pada peran universitas sebagai agen perubahan
sosial, atau hanya menjadi benteng kekuasaan yang tak tersentuh?
Kalau kita mau jujur,
banalitas intelektual yang terjadi di perguruan tinggi kita adalah hasil dari
sistem yang sudah terlalu lama stagnan. Sebuah sistem di mana kepemimpinan
rektor lebih fokus pada mempertahankan status quo daripada memicu perubahan
radikal. Di sinilah pertanyaan kuncinya: apa yang masih bisa kita lakukan untuk
mengembalikan peran perguruan tinggi sebagai pusat intelektual yang hidup,
dinamis, dan kritis? Atau, apakah kita harus terus menerima bahwa rektor,
sebagai simbol kepemimpinan akademik, tak lagi mampu melampaui bayang-bayang
aristokrasi yang semakin menggerogoti kampus-kampus kita?
Posting Komentar