no fucking license

Archive

Middle

Lorem lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed tempor and vitality, so that the labor and sorrow, some important things to do eiusmod. For now passes from soccer.
64y6kMGBSVhmzQfbQP8oc9bYR1c2g7asOs4JOlci

Recent

Bookmark

Rektor dalam bayang-bayang aristokrasi : Menguak Banalitas Intelektual di Twin Tower


Pics by : Media Lentera Biru

Barangkali, kalau Ki Hajar Dewantara masih hidup dan diajak duduk di meja diskusi, pasti dia akan terkekeh mendapati realitas absurd di perguruan tinggi kita hari ini wa bil khusus UIN Sunan Ampel Surabaya—di mana jabatan rektor lebih menyerupai gelar bangsawan daripada pemimpin intelektual. Seperti memasuki teater aristokrasi, rektor seakan terjebak dalam bayang-bayang kemapanan yang sarat protokoler layar kaca, kampus berdiri gagah layaknya menara gading, jauh dari realitas masyarakat yang di istilahkan Ki Hajar Dewantara sebagai buruh intelektual. Namun, bukan itu yang perlu digarisbawahi.

Hari ini, rektor yang dulu dianggap sebagai figur akademik dengan otoritas intelektual malah kehilangan taji. Peran mereka bukan lagi sebagai juru bicara ide-ide progresif atau pendorong inovasi, tapi hanya menjadi perpanjangan tangan dari sistem aristokrasi yang kian mapan. Ini bukan soal personal, tapi lebih pada struktur kekuasaan yang mencengkram. Istilah rektor ini terpaksa menjadi simbol formalitas birokrasi, 

Banalitas intelektual di sini bukan sekadar lelucon belaka. Pasalnya ini adalah kenyataan pahit yang kita hadapi, di mana ide-ide besar dikerdilkan oleh tuntutan birokrasi, dokumen, dan pencapaian angka-angka. Publikasi ilmiah? Oh, jangan salah paham. Alih-alih menjadi medan pertempuran gagasan yang hidup, kini lebih mirip koran pembungkus pecel lele yang dirayakan sebagai pencapaian intelektual, tapi malah tersesat pada formalitas administratif dan orientasi pasar. Yang ada hanyalah rutinitas absurd, sebuah paradoks di tengah hiruk-pikuk modernitas akademik yang seharusnya menjanjikan kebebasan berpikir.

 Meminjam istilah Heru Nugroho dalam pidato atas penguikuhannya sebagai guru besar sosiologi UGM tahun 2012. Sebagaimana beliau menjelaskan adalah wajar jika dicurigai memiliki kepentingan kuasa di dalamnya, yakni sebagai bagian dari hasrat kuasa akademisi dalam produksi pengetahuan untuk menciptakan ketidakstabilan makna karena penolakan terhadap objektivitas (Nugroho, 2012). Menyoal banalitas Intelektual tentunya sangat terbuka kemungkinannya untuk dicurigai sebagai bagian dari fenomena formalitas birokrasi guna memenuhi persyaratan akademis. 

Tentang Banalitas Intelektual

Banalitas intelektual merupakan sebuah kondisi yang ditandai dengan beberapa hal: Pertama, pendangkalan pemikiran yang tidak disadari. Kedua, merosotnya kualitas akademik. Ketiga, kualitas intelektual. Kualitas akademik dapat merujuk pada tingkat penguasaan ilmu yang menyediakan peralatan-peralatan kerja akademik sedang kualitas intelektual merujuk pada komitmen akademisi terhadap ilmu sebagai bidang pengabdian. Sebagai ilustrasi penulis gambarkan realitas yang sering terjadi di UIN Sunan Ampel Surabaya. Banyak dosen yang tidak memiliki kapasitas dan tidak mempu menguasi teori-teori  sebagai bagian dari piasu analisis untuk memahami realitas kekinian, cenderung dosen-dosen hanya menyampaikan teori hanya sebatas kesimpulan-kesimpulan atau hanya sekedar daftar pustaka. Ilustrasi kedua dari merosotnya kualitas intelektual yang ada di UIN Sunan Ampel Surabaya, banyak dari dosen-dosen menuntut untuk melakukan penelitian dan menulis jurnal hanya semata-semata untuk memenuhi persyaratan akademis, dan menjadi sesuatu yang wajar karena telah menjadi ajang perlombaan, hal ini ditambah lagi dari peraturan negara yang banyak  memberi persyaratan administratif untuk kenaikan pangkat, yang memang harus dipenuhi. 

Tentang istilah banalitas mengingatkan kepada istilah yang ditengahkan oleh Hannah Arendt dalam karyanya yang berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil Artinya sebuah kejahatan yang kehilangan ciri-ciri jahatnya sering dianggap biasa dan wajar. Fenomena ini, yang dikenal sebagai banalitas kejahatan, muncul karena dangkalnya refleksi manusia terhadap situasi-situasi yang menyangkut kejahatan. Dalam kondisi ini, kemampuan untuk berpikir kritis menjadi hilang. Pelaku kejahatan pun tidak mampu membayangkan dirinya berada dalam posisi korban (Haryatmoko, 2010: 51). 

Hannah Arendt menggunakan istilah "banalitas kejahatan" untuk menggambarkan pengalaman yang dialami oleh Eichmann, seorang prajurit Nazi. Eichmann tidak merasa telah melakukan kejahatan terhadap kaum Yahudi; ia hanya menganggap dirinya menjalankan kewajiban dalam kesatuannya. Bahkan, ia mengusulkan untuk mempertanyakan aturan-aturan dasar di satuannya, merasa berhak atas kenaikan pangkat setelah menjalankan tugas (Wattimena, 2011). Eichmann bukan sosok yang bengis atau jahat seperti karakter antagonis dalam kisah superhero. Ia adalah orang biasa yang berpikir lurus, dan justru karena kelurusannya itulah ia kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. Ada beberapa indikator banalitas yang sering ditemui di UIN Sunan Ampel Surabaya. 

Pengkhianatan Akademik

Pengkhianatan akademik dapat ditandai dari beberapa realitas yang sering terjadi yakni; Cenderung para akademisi lebih mementingkan niai-nilai pragmatis dari pada nilai-nilai ilmu pengetahuan. Jika idealnya para akademisi yang seharunsya melakukan tugas refleksi kritis membangun nilai-nilai abstrak yang abadi seperti kebenaran, keadilan namun masih terjebak pada kepentingan-kepentingan pragmatis untuk meningkatkan pendapatan. Contohnya: Banyak dosen yang lebih mementingkan pekerjaan sampingannya di luar kota, sehingga tidak cukup banyak waktu beraktivitas di kampus dan meninggalkan waktu kuliah, konsekuensinya perkuliahan seringkali diliburkan atau tidak mengajar sama sekali. Istilah populernya Lillahi ta’ala. Ini bukan soal gaji, melainkan soal generasi. 

Intelektual Pamer

Fenomena intelektual pamer dapat ditandai banyak dari para akademisi yang secara instan mendapat predikat sebagai seorang ahli, fenomena seringkali terjadi banyak dosen yang diundang untuk menjadi pembicara dalam seminar-seminar atau lingkar diskusi yang tercantum dalam flayer-flayer sebagai seorang pakar / Profesionalitas sedangkan soal pemahaman, justru cenderung tidak sesuai dengan sebutan pakar. Pasalnya dalam hal ini Heru Nugroho memapaparkan akademis yang hanya mencakar-cakar hanya untuk keuntungan dari pendapat yang disampaikan. Dosen –komentar yang disampaikan hanya menjadi tontonan Ci-luk-ba. Heru Nugroho menyebutnya dengan istilah fenomena klobotisme (Pembungkus rokok). 

UINSA Tidak berkontribusi terhadap perkembangan kajian Islam? 

Kembali pada rektor, jabatan ini tak ubahnya sebuah simbol kekuasaan yang terbelit protokol aristokratik, di mana mereka lebih terlihat seperti seorang pengurus negara versi lite daripada seorang pemimpin akademik. Dalam bayang-bayang aristokrasi yang semakin mapan, rektor bukanlah agen perubahan radikal, melainkan penjaga gawang sistem yang sudah mapan. Bukan karena mereka tidak ingin, tapi struktur dan mekanismenya yang memang dirancang untuk menjaga agar perubahan hanya sebatas di permukaannya saja. Sebagai mana kampus islam negeri yang seharusnya juga berkontribusi terhadap perkembangan kajian keislaman.

Seperti yang dungkapkan dari maqolah Prof. Dr Mukhammad Zamzami, Lc., M. Fil.I menyoal mazhab keilmuan yang ada di UIN Sunan Ampel Surabaya. Hingga saat ini terangnya belum ada satu pun karya ilmiah mengenai kontribusi akademisi UIN Sunan Ampel Surabaya. Hal ini menjadi fakta dan latar belakang, Prof. Zamzami menelusuri disertasi mahasiswa UINSA dari tahun 2004 – 2019. Namun, fakta yang ditemukan hanya sekedar deretan angka dan formalisme intelektual. Itulah mengapa harapan Prof. Zamzami dimana riset-riset UINSA memunculkan karakteristik kampus per hari ini dari Muzakkisme, Ehh, Twin-towerisme menjadi UINSA-Isme yang sifatnya universal. 

Perlu diketahui juga dimana Aristokrasi modern di dunia akademik inilah yang akhirnya melahirkan sesuatu yang disebut banalitas intelektual. Sulit untuk tidak tersenyum kowa-kowo melihat fenomena ini. Dalam satu sisi, kita memuja "inovasi" dan "progresivitas," tapi di sisi lain kita terjebak dalam siklus intelektual yang dangkal dan terisolasi dari tantangan-tantangan nyata di luar kampus. Lihatlah para lulusan kita—mereka dibekali dengan gelar, tapi di mana keberanian intelektualnya, bak berhala? Di mana daya kritisnya? Semua terbenam dalam formalitas dan birokrasi yang kaku dan ita-itu.

Lebih jauh, fenomena "Menara Twin Tower" ini tak hanya berlaku dalam fisik bangunan kampus yang megah, tapi juga mencerminkan mentalitas tertutup yang tumbuh di dalamnya. Institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi jembatan antara akademik dan masyarakat kini justru terisolasi, tak mampu lagi membaca denyut nadi sosial. Bukan hanya dari segi kebijakan, tapi juga dari orientasi intelektual yang kian menjauh dari realitas sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

Seharusnya kitalah sebagai masyarakat UINSA dapat jujur dan membuka topeng ini, menguak realitas di balik dinding-dinding twin tower yang tampak megah, namun kosong secara intelektual. Apakah rektor-rektor kita dipilih karena kualitas intelektualnya ataukah mereka hanya pion-pion dalam permainan kekuasaan elit yang kian mapan? Apakah kita masih bisa berharap pada peran universitas sebagai agen perubahan sosial, atau hanya menjadi benteng kekuasaan yang tak tersentuh?

Kalau kita mau jujur, banalitas intelektual yang terjadi di perguruan tinggi kita adalah hasil dari sistem yang sudah terlalu lama stagnan. Sebuah sistem di mana kepemimpinan rektor lebih fokus pada mempertahankan status quo daripada memicu perubahan radikal. Di sinilah pertanyaan kuncinya: apa yang masih bisa kita lakukan untuk mengembalikan peran perguruan tinggi sebagai pusat intelektual yang hidup, dinamis, dan kritis? Atau, apakah kita harus terus menerima bahwa rektor, sebagai simbol kepemimpinan akademik, tak lagi mampu melampaui bayang-bayang aristokrasi yang semakin menggerogoti kampus-kampus kita?

 

 


Posting Komentar

Posting Komentar