![]() |
Sumber : postingan Instagram @sekretariat.kabinet |
Dilansir dari antaranews.com, pertemuan mereka dengan Presiden membicarakan bagaimana meredam ketegangan sosial pasca demonstrasi yang dipicu kenaikan tunjangan DPR, pernyataan arogan politisi, hingga insiden tragis yang menewaskan Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia dua puluh satu tahun, setelah dilindas kendaraan taktis Brimob. Pertemuan itu berlangsung di tengah situasi panas, ketika Jakarta, Bandung, Makassar, hingga Yogyakarta diguncang protes massal, bahkan beberapa gedung DPRD dibakar massa yang marah karena merasa suara mereka tidak pernah didengar.
Pertemuan di Hambalang mungkin dimaksudkan sebagai jalan keluar politik, namun justru memperlihatkan wajah asli negara dan elit agama ketika berhadapan dengan krisis. Alih-alih menjawab substansi tuntutan rakyat, mereka bersepakat menjaga “kondusifitas” yang sejatinya berarti meredam amarah rakyat tanpa menyentuh akar masalah. Rakyat turun ke jalan bukan karena bosan atau sekadar mencari keributan, melainkan karena menyaksikan betapa timpangnya kenyataan hidup. Di saat gaji dan tunjangan anggota DPR melonjak, rakyat dipaksa bertahan dalam situasi ekonomi yang kian sulit, harga kebutuhan pokok melambung, sementara pekerjaan informal seperti ojek online tidak memberikan jaminan hidup layak. Lalu datang pula pernyataan arogan politisi yang menyebut pengkritik DPR “bodoh”, seolah-olah rakyat hanya pantas dimaki, bukan didengarkan. Belum selesai di situ, pemerintah terus menunda pengesahan RUU Perampasan Aset yang sangat ditunggu publik sebagai instrumen pemberantasan korupsi, sementara UU RKUHP yang problematis justru dipaksakan, membatasi kebebasan berekspresi dan membuka ruang kriminalisasi.
Dalam suasana itu, pemerintah memilih strategi klasik memanggil tokoh agama untuk menenangkan rakyat. Agama dijadikan tameng moral, seolah-olah dengan doa bersama dan narasi damai masalah struktural dapat terselesaikan. Tokoh-tokoh ormas Islam yang hadir pun ikut larut dalam wacana kondusifitas, menyerukan dialog, menahan diri, dan menghindari kekerasan. Seruan itu tentu terdengar manis, tetapi sekaligus kosong. Ia manis bagi pemerintah yang membutuhkan legitimasi, tetapi kosong bagi rakyat yang kehilangan nyawa, kehilangan pekerjaan, dan kehilangan harapan
Jika dibaca dengan kacamata teori kiri, apa yang terjadi adalah reproduksi status quo. Antonio Gramsci menjelaskan bagaimana hegemoni dibangun bukan semata lewat represi, melainkan juga konsensus yang diproduksi melalui institusi budaya dan agama. Ormas Islam dalam kasus ini berperan sebagai aparatus hegemonik mengalihkan amarah rakyat dari tuntutan ekonomi-politik ke isu moral tentang ketertiban sosial.
Mereka tidak menekan negara untuk menurunkan tunjangan DPR, tidak menuntut akuntabilitas aparat, tidak menyinggung keterlambatan UU perampasan aset, bahkan tidak menyuarakan kritik keras atas tewasnya anak muda miskin yang jadi korban represifitas. Sebaliknya, mereka mengajak publik “menahan diri” dan “menyerahkan pada hukum”, padahal hukum yang ada jelas berpihak pada elit.
Lebih ironi, agama dalam konteks ini tidak menjadi sumber etika pembebasan, melainkan instrumen pelanggengan kekuasaan. Seruan damai tanpa keadilan hanyalah ilusi. Perdamaian tanpa keberanian menyentuh akar masalah hanya menunda ledakan yang lebih besar. Pemerintah tampak lebih takut pada kerusakan citra internasional ketimbang mendengarkan rakyatnya sendiri. Tokoh agama tampak lebih sibuk menjaga kedekatan dengan kekuasaan ketimbang memikul tanggung jawab moral untuk berpihak pada yang lemah. Dalam bahasa Marx, inilah superstruktur ideologis yang bekerja untuk menutupi kontradiksi kelas rakyat diminta diam dan sabar, sementara elit mempertahankan privilege mereka.
Refleksi yang harus diajukan adalah sampai kapan agama dipakai sebagai peredam konflik sosial tanpa berani menjadi kritik sosial? Sampai kapan pemerintah bisa menyembunyikan kebijakan yang anti-rakyat di balik simbol silaturahmi dengan ormas Islam? Situasi ini justru menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi Indonesia, karena ia gagal menjawab problem mendasar berupa ketidakadilan ekonomi dan kesewenang-wenangan politik. Demonstrasi yang membakar gedung DPRD bukanlah akar, melainkan gejala. Akar persoalan ada pada ketidakadilan struktural: kenaikan gaji DPR saat rakyat krisis, undang-undang represif, dan aparat yang brutal.
Dialog Hambalang
akhirnya hanya menjadi panggung. Ia bukan jawaban, melainkan manuver politik.
Ia bukan solusi, melainkan taktik penundaan. Dan jika agama terus dijadikan
alat untuk menutupi luka rakyat, maka agama akan kehilangan makna
pembebasannya. Yang tersisa hanyalah legitimasi kekuasaan, dan rakyat akan
semakin sadar bahwa mereka hanya bisa memperjuangkan keadilan dengan caranya
sendiri di jalanan.
Penulis : Wahyu Maulana
Posting Komentar