![]() |
Ilustrasi AI |
Lentera Biru , (20/08). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menuai sorotan setelah rincian gaji dan tunjangan mereka yang menembus lebih dari Rp. 100 juta per bulan terungkap di Jakarta, Agustus 2025. Sebagai lembaga yang menyusun sekaligus menikmati anggaran negara, DPR dinilai terjebak dalam praktik moral hazard, mengungkap konflik kepentingan serius di tengah kondisi fiskal yang kian terbatas.
Istilah Moral Hazard dalam literatur ekonomi dan politik merujuk pada kondisi ketika suatu pihak mempunyai kewenangan membuat keputusan yang berimplikasi besar, namun tidak menanggung sepenuhnya risiko atau konsekuensi dari keputusannya. Konsep ini awalnya berkembang di dunia asuransi, namun kini relevan dalam politik, khususnya ketika lembaga negara bertindak sebagai pembuat sekaligus penerima manfaat kebijakan. Dalam konteks Indonesia, fenomena itu tampak jelas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang di belakangan kembali menuai sorotan setelah rincian gaji dan izin mereka terungkap ke publik.
Laporan CNBC Indonesia pada 23 Agustus 2025 mencatat bahwa total gaji dan tunjangan anggota DPR dapat menembus lebih dari Rp. 100 juta per bulan, termasuk tunjangan rumah sebesar Rp. 50 juta per bulan yang memicu polemik luas. Tempo juga menghemat biaya listrik Rp. 3,5 juta dan biaya telepon Rp. 4,2 juta per bulan sebagai fasilitas rutin bagi setiap legislator. CNN Indonesia menambahkan, meski gaji pokok anggota DPR hanya sekitar Rp. 4,2 juta per bulan, namun beragam manfaat membuat total penghasilan anggota dewan bisa mencapai lebih dari Rp. 54 juta per bulan, bahkan lebih besar bagi pimpinan DPR.
Ketika angka-angka tersebut dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk sektor publik yang vital, penilaian proporsionalitas publik dan legitimasi alokasi ini.
Kritik tajam datang dari berbagai kalangan. Dosen Universitas Ahmad Dahlan, Dr. Fajar Dwi Putra, menilai izin perumahan Rp50 juta bukan sekadar masalah angka administratif, melainkan cermin bagaimana kekuasaan bekerja atas nama “kelayakan” yang ditentukan sepihak.
“ Kontroversi izin perumahan sebesar Rp50 juta per bulan bukan sekedar soal angka, melainkan bagaimana cermin kekuasaan bekerja atas nama kelayakan dan efisiensi .” Dikutip dari Times Indonesia. Kritik ini menegaskan adanya konflik kepentingan yang kental, DPR ikut menyusun anggaran negara sekaligus menjadi penerima manfaat langsung dari keputusan tersebut.
Fenomena ini ditampilkan dengan jelas Moral Hazard politik. Para legislator, yang seharusnya bertindak sebagai agen rakyat, justru menempatkan dirinya sebagai penerima manfaat dari kebijakan fiskal yang mereka sahkan sendiri.
Secara teoritis, hal ini dikenal sebagai Principal Agent Problem , di mana agen (DPR) memiliki informasi dan kewenangan lebih besar dibandingkan prinsipal (rakyat), sehingga berpotensi bertindak demi kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan umum. Situasi ini semakin diperburuk dengan minimnya mekanisme pengawasan ketat atas remunerasi legislatif, sehingga insentif bagi kinerja rendah tetap terjaga, sementara beban anggaran ditanggung oleh negara.
Di sisi lain, perbandingan dengan parlemen negara lain seringkali digunakan sebagai legitimasi. Singapura, misalnya, memberikan gaji anggota parlemen hingga setara dengan Rp182 juta per bulan. Namun komunikasi ini sering terjadi, karena di negara kota itu sistem remunerasi selalu terikat dengan evaluasi kinerja yang ketat dan akuntabilitas publik yang tinggi.
Sebaliknya, di Indonesia, mekanisme kinerja legislator seringkali lemah, ditandai dengan rendahnya tingkat kehadiran sidang, lambannya pembahasan undang-undang, serta pengawasan kepercayaan masyarakat yang cenderung menurun. Ironinya, biaya demokrasi tetap melambung tinggi sementara kualitas representasi justru stagnan.
Kondisi inilah yang menimbulkan paradoks dalam demokrasi Indonesia. Di satu sisi, gaji dan tunjangan anggota DPR terus diperbesar atas nama fungsi representasi, legislasi, dan pengawasan. Namun di sisi lain, manfaat yang dirasakan masyarakat dari kinerja dewan jauh dari sebanding. Ironi ini tidak hanya menampilkan jurang keadilan fiskal, tetapi juga memperkuat anggapan bahwa DPR terjebak dalam praktik Moral Hazard, di mana kekuasaan legislatif digunakan untuk melanggengkan kepentingan internal dan bukannya memperkuat kesejahteraan rakyat.
Melihat keseluruhan fakta dan dinamika yang ada, jelas bahwa polemik gaji dan tunjangan DPR bukan sekadar soal nominal, melainkan menyentuh persoalan mendasar tata kelola negara. Ketika legislator merangkap peran sebagai pengatur sekaligus penerima anggaran, Moral Hazard menjadi keniscayaan yang mencakup legitimasi politik. Reformasi sistem remunerasi melalui mekanisme yang independen, transparan, dan berbasis kinerja mutlak diperlukan agar demokrasi tidak sekadar menjadi arena pendistribusian hak istimewa “Dari DPR ke DPR,” melainkan instrumen keadilan fiskal bagi seluruh rakyat.
Posting Komentar