Temu
Karya Serumpun 2025 merupakan salah satu forum sastra paling signifikan di
kawasan Asia Tenggara, berfungsi sebagai barometer untuk mengukur isu-isu
kemanusiaan dan artistik yang beresonansi lintas-budaya. Salah satunya dari demisioner ketua Lentera Biru, Fahmi
Ayatullah—seorang penulis dan penggiat kebudayaan yang berasal dari Muncar, Banyuwangi ini
membawa narasi pinggiran yang sarat kontemplasi ke panggung asia, menantang hegemoni narasi pusat yang
kerap mendominasi diskursus sastra. Puisi yang ditulis di Surabaya pada tahun 2025 ini secara tegas menempatkan
diri dalam realitas kontemporer Indonesia, di mana janji-janji kemerdekaan,
terutama terkait keadilan dan kesejahteraan, sering kali terasa retak di tengah
gemerlap pembangunan.
Fahmi Ayatollah bersama Acep Zamzam Noor
Kang Ayat sebagaimana sapaan akrabnya sendiri dikenal sebagai penyair yang berangkat dari Muncar, Banyuwangi turut mendirikan ruang-ruang diskusi vital bersama rekan-rekannya seperti komunitas Daras Filsafat, terlibat dalam project kebudayaan dan sejarah di Punel Communiaction dan komunitas Selapanan Sastra hingga menjadikannya figur yang konsisten membangun wacana-wacana sastra dan filsafat di Muncar, Banyuwangi.
Disanalah tumbuh anak-anak yang terlahir dari hembusan angin subuh
Yang menggigil dari basah hujan sejarah
Berlumur mimpi yang belum sempat tidur
Ibunya menggeliat sakit bergetar ditiang besi
Nahas ketika malam datang membawa
Langkah seribu kaki lapar
Anak-anak yang menerima retak di matanya
Anak-anak yang menahan lapar
Dari perut yang mendesak dari masa silam
Anak-anak itu menggenggam kepasrahan doa
Semoga hidup baik-baik saja
Menggumam kasih pada tanah air
Memajatkan doa-doa yang menitis bumi
Anak-anak itu terlahir dari rahim yang matang
Sebelum waktunya adalah buah yang dipetik
Sebelum ranum lalu memikul jawab tanpa kata
Ada beban dari musim-musim kesulitan
Dari tutur sabdanya
Adalah nyanyian mereka
Nyanyian hak hidup di masa depan yang berulang
Nyanyian yang menolak padam dan putus asa
Padamlah wajah-wajah itu dalam senyum
Yang diam-diam menuntut keadilan
Analisis
intrinsik puisi ini mengungkapkan arsitektur puitis yang dibangun di atas
fondasi kontradiktif. Kang Ayat
secara sengaja mempertentangkan diksi yang mewakili harapan dan penderitaan,
seperti "Kota megah yang dipenuhi mimpi" melawan "langkah
seribu kaki lapar," atau "angin subuh" melawan "hujan
sejarah." Kontras ini segera menetapkan nada puisi sebagai gugatan
yang lahir dari ketidakselarasan janji dan realitas. Menariknya, diksi yang
dipilih untuk menggambarkan penderitaan anak-anak cenderung pasif, seperti
"menerima derita," "menerima retak," dan
"menahan lapar," yang justru menguatkan kesan tragedi yang tak
terhindarkan. Penderitaan pasif ini diimbangi dengan diksi spiritualis seperti
"kepasrahan doa," "menggumam kasih," dan
"keadilan ilahi," yang menjadi jangkar bagi harapan,
menunjukkan bahwa meskipun tubuh menderita, jiwa mereka tetap utuh mencari
kebenaran mutlak.
Puisi
ini juga sangat kaya dengan citraan yang menghadirkan penderitaan fisik dan
batin secara visual dan kinestetik. Gambaran seperti "retak di matanya"
dan "perut yang mendesak dari masa silam" adalah representasi
visual sekaligus taktil dari kelaparan kronis dan trauma yang diwariskan.
Citraan yang paling mencekam adalah personifikasi dalam larik "Nahas
ketika malam datang membawa / Langkah seribu kaki lapar," di mana
malam dan kelaparan menjelma menjadi entitas antagonis yang jahat, beraksi di
bawah kegelapan. Personifikasi ini secara efektif mengubah kelaparan dari kondisi
statis menjadi kekuatan yang bergerak, berburu, dan mengancam. Lebih lanjut,
"Ibunya menggeliat sakit bergetar ditiang besi" melukiskan bangsa
yang sakit, terbelenggu dalam struktur yang keras dan dingin.
Kunci
filosofis puisi ini terletak pada Metafora Sentral "Rahim Kemerdekaan."
Rahim melambangkan asal usul, tempat perlindungan, dan tempat tumbuh. Metafora
ini menyiratkan bahwa Kemerdekaan adalah Ibu yang melahirkan generasi, tetapi
kondisi kelahirannya sakit dan prematur. Anak-anak yang lahir adalah "buah
yang dipetik / Sebelum ranum," yaitu potensi yang dicuri sebelum waktunya
matang, membawa beban yang terlalu berat. Simbolisme yang paling kuat dan
menentukan perlawanan terletak pada frasa penutup: "Padamlah wajah-wajah
itu dalam senyum / Yang diam-diam menuntut keadilan." Senyum di sini bukan
ekspresi bahagia, melainkan tameng, perlawanan subversif. Senyum tersebut
menyimpan tuntutan; ia adalah perlawanan yang sunyi, yang memilih menanggung
derita sambil tetap memegang harapan dan menuntut keadilan mutlak dari Tuhan,
setelah keadilan negara (duniawi) dirasakan gagal.
Secara
struktural, puisi ini menggunakan bentuk bebas dengan cerdas. Penggunaan
Enjambemen (pemenggalan kalimat di akhir baris) secara konsisten menciptakan
jeda dramatis yang menegaskan makna yang paling menyakitkan, seperti pada larik
tentang "langkah seribu kaki lapar." Selain itu, Repetisi frasa
"Anak-anak yang..." berfungsi sebagai palu godam, memastikan bahwa
pembaca memahami penderitaan ini bukan insidental, melainkan suatu kondisi
kolektif yang terus menerus.
Kritik
sosiologis puisi ini dibumikan oleh keterangan "Surabaya 2025."
Penentuan waktu dan tempat ini memperkuat kritik atas pembangunan yang tidak
merata; di tengah kota metropolitan, kontradiksi antara janji kemerdekaan dan
realitas kelaparan semakin tajam. Fahmi Ayatullah melihat kegagalan struktural
dan etis negara, yang membuat anak-anak menjadi beban utang sejarah. Namun,
alih-alih merangkai protes politis, puisi ini menawarkan solusi spiritual di
Bait 4: "Mimpi tentang keadilan ilahi / Adalah nyanyian mereka."
Ketika keadilan duniawi gagal, harapan beralih pada keadilan absolut.
Perlawanan ini, sesuai dengan latar belakang Fahmi di Daras Filsafat dan
LESBUMI, adalah perlawanan iman dan nurani, bukan politik.
Karya
"Rahim Kemerdekaan" adalah kontinuitas dari pergulatan tema Fahmi
Ayatullah sebelumnya, seperti yang terindikasi dalam nuansa "Antologi Dzikir Puisi 2017" Pada
akhirnya, nominasi puisi "Rahim Kemerdekaan" di Temu Karya Serumpun
2025 memiliki signifikansi besar. Puisi ini berhasil membawa isu domestik
Indonesia yaitu luka sosial pasca-kemerdekaan dan ketidaksetaraan yang relevan
secara regional, mengingat negara-negara Serumpun memiliki sejarah kolonialisme
serupa. Karya Fahmi Ayatullah ini menjadi penanda penting bahwa sastra yang
jujur dan berakar pada penderitaan lokal, serta diolah dengan kecerdasan
spiritual, memiliki daya gedor universal.



Posting Komentar