Lentera Biru, (27/10). Jakarta, 25 Oktober 2025 — Polemik pengusulan Presiden kedua
Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional memantik kembali
perdebatan publik tentang batas antara jasa pembangunan dan pelanggaran moral
kekuasaan. Wacana yang muncul pada Oktober 2025 ini menimbulkan pro-kontra
tajam di berbagai kalangan, mulai dari politisi, aktivis masyarakat sipil,
hingga akademisi. Kontroversi tersebut bukan semata tentang siapa yang layak
disebut pahlawan, melainkan bagaimana bangsa menafsirkan sejarah dan menimbang
warisan kepemimpinan yang meninggalkan jejak ganda antara stabilitas dan
represi.
Koalisi Masyarakat Sipil menjadi salah satu
kelompok yang menyuarakan penolakan paling tegas. Dalam pernyataan resminya
yang dikirimkan kepada Kementerian Sosial, mereka menilai bahwa pemberian gelar
pahlawan kepada Soeharto merupakan tindakan yang mengabaikan prinsip keadilan
historis. “Menobatkan Soeharto sebagai pahlawan berarti
menutup mata terhadap luka kolektif bangsa yang belum sepenuhnya pulih,” tulis
perwakilan koalisi sebagaimana dikutip dari Warta Kota (2025).
Argumentasi tersebut menegaskan bahwa gelar kepahlawanan tidak hanya memerlukan
jasa monumental, tetapi juga integritas moral yang dapat dipertanggungjawabkan
di hadapan sejarah.
Pandangan serupa datang dari sejumlah politisi
PDI Perjuangan. Anggota DPR RI Andreas Hugo Pareira menyatakan bahwa pengusulan
tersebut tidak memiliki landasan etik yang kuat. “Apa
hebatnya Soeharto sampai layak diberi gelar pahlawan? Sejarah pemerintahan Orde
Baru menyisakan catatan kelam yang tidak boleh dihapus begitu saja,” ujarnya
dalam wawancara yang dikutip Suara.com (24/10/2025). Bagi Andreas,
pengakuan negara terhadap figur yang sarat kontroversi berisiko menimbulkan
distorsi terhadap narasi keadilan dan demokrasi pascareformasi.
Kritik juga mengemuka terhadap aspek
prosedural pengusulan. Ketua DPP PDI Perjuangan, Eriko Sotarduga, menekankan
pentingnya transparansi dalam proses penetapan gelar pahlawan nasional. Ia
mengingatkan bahwa penghargaan tersebut tidak boleh dimanfaatkan sebagai
instrumen politik untuk membangun legitimasi simbolik. “Jangan sampai ada upaya
memaksakan penetapan hanya karena kepentingan tertentu,” katanya sebagaimana
dikutip Kompas.id (2025).
Sebaliknya, Sekretaris Jenderal Partai
Gerindra, Ahmad Muzani, justru memandang usulan tersebut sebagai hal yang wajar
dan tidak perlu diperdebatkan secara berlebihan. Dalam pandangannya, Soeharto
memiliki kontribusi besar dalam pembangunan nasional dan stabilitas politik
Indonesia
“Soeharto berjasa membawa Indonesia ke masa
pembangunan dan ketertiban. Jadi, tidak ada yang salah jika ada pihak yang
mengusulkan,” tuturnya dalam pernyataan yang dikutip dari Fajar.co.id
(2025)
Nada yang lebih moderat datang dari Ketua MPR
RI, Bambang Soesatyo. Ia menyebut bahwa perdebatan tersebut telah selesai di
tingkat kelembagaan, dan sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme resmi
pemerintah. “Kita hormati prosedur yang ada. Biarlah pihak berwenang yang
menilai,” ucapnya kepada CNN Indonesia (24/10/2025). Sikap ini
mencerminkan pendekatan legalistik yang menempatkan proses formal sebagai
landasan penyelesaian isu-isu historis yang sensitif.
Perdebatan seputar usulan gelar bagi Soeharto
merefleksikan perbedaan cara pandang masyarakat terhadap definisi kepahlawanan
dan moralitas politik. Sebagian kalangan memaknai Soeharto sebagai figur
pembangunan ekonomi yang berhasil mengangkat Indonesia dari ketidakstabilan
pasca-1965. Namun sebagian lainnya menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan
tidak dapat memutihkan praktik represif, pembatasan kebebasan, serta korupsi
sistemik yang terjadi sepanjang kekuasaannya.
Hingga kini, Kementerian Sosial belum
memberikan keterangan resmi mengenai status pengusulan tersebut. Berdasarkan
peraturan yang berlaku, setiap calon penerima gelar Pahlawan Nasional akan
melalui proses verifikasi dan evaluasi mendalam oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa,
dan Tanda Kehormatan sebelum diajukan kepada Presiden untuk memperoleh
persetujuan final.
Wacana ini menunjukkan bahwa warisan politik
Orde Baru masih menjadi sumber ketegangan ideologis di masyarakat Indonesia
kontemporer. Pertarungan simbolik antara pembangunan dan pelanggaran
kemanusiaan menegaskan bahwa sejarah belum sepenuhnya menjadi ruang konsensus,
melainkan arena tafsir yang terus diperebutkan. Dalam konteks inilah,
perdebatan mengenai Soeharto bukan sekadar soal gelar kehormatan, melainkan
refleksi atas bagaimana bangsa ini menafsirkan ingatan, keadilan, dan makna
kepahlawanan itu sendiri.
Penulis: Muhammad Genta




Posting Komentar