Lentera Biru, (31/10). Bandung, Oktober 2025 — Air yang kita teguk setiap hari
dari botol berlabel air pegunungan kini tengah dipertanyakan sumbernya
setelah pakar geologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Heru Hendrayana,
mengungkap bahwa sebagian besar air yang digunakan oleh PT Tirta Investama
(Aqua) sebenarnya berasal dari sumur bor bertekanan tinggi, bukan dari mata air
pegunungan alami sebagaimana diklaim di label produknya.
Dalam penjelasannya, Prof. Heru
menegaskan bahwa air hasil pengeboran tidak sama dengan air mata air yang
keluar alami. “Air dari sumur bor bisa saja berasal dari akuifer dalam di bawah
sistem geologi pegunungan, tetapi bukan berarti air dari mata air alami,”
ujarnya (Detik.com, 2025).
Temuan ini memicu polemik publik dan
menimbulkan keraguan terhadap keaslian klaim “air pegunungan” yang selama ini
menjadi kekuatan utama citra Aqua, sekaligus membuka perbincangan mengenai
siapa yang paling diuntungkan dari praktik eksploitasi sumber daya air ini.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) kemudian mendesak Aqua untuk lebih transparan. Menurut YLKI, klaim yang
tidak sesuai fakta berpotensi menyesatkan konsumen dan melanggar hak atas informasi
yang benar sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun
1999. “Konsumen membeli bukan hanya fungsi, tapi juga kepercayaan. Jika sumber
air tidak akurat, integritas merek patut dipertanyakan,” ujar Ketua Harian
YLKI, Tulus Abadi (Media Indonesia, 2025).
Menanggapi kritik tersebut, Aqua
menegaskan bahwa air yang mereka gunakan tetap berasal dari sistem air
pegunungan, hanya saja diambil melalui pengeboran ke lapisan akuifer
terlindungi. Pihak perusahaan juga menegaskan bahwa setiap sumber air telah
melalui riset hidrogeologis selama satu tahun dan berada di bawah pengawasan
ahli independen.
Namun, sejumlah pakar lingkungan
memperingatkan potensi eksploitasi akuifer dalam yang dapat menyebabkan
penurunan muka air tanah (groundwater depletion) dan berujung pada kekeringan
lokal. Dr. Destika Cahyana, peneliti BRIN, menilai bahwa air bawah tanah adalah
sumber daya bersama yang semestinya diaudit secara terbuka. “Ketika industri
besar mengambil dalam jumlah besar tanpa transparansi, maka risiko
sosial-ekologisnya harus dipertanggungjawabkan,” ujarnya (Inilah.com,
2025).
Kasus ini menyingkap persoalan yang
lebih luas: lemahnya regulasi dan minimnya akses publik terhadap data
pengambilan air oleh industri besar. Hingga kini, belum ada laporan terbuka
tentang volume air yang diambil setiap tahun maupun dampak ekologisnya bagi
masyarakat sekitar.
Isu ini bukan semata soal teknis
pengeboran, melainkan soal etika bisnis dan tanggung jawab ekologis. Air bukan
sekadar komoditas dagang, melainkan hak dasar manusia dan amanah lingkungan.
Kejernihan air dalam botol semestinya mencerminkan kejernihan praktik di balik
produksinya. Sebab di balik setiap tetes air yang dijual, tersimpan tanggung
jawab besar terhadap alam, kejujuran, dan keberlanjutan hidup manusia.
Penulis: Abdul Hakim M.H



Posting Komentar