Lentera Biru, (29/10). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa pada Oktober 2025 suhu udara di sejumlah wilayah Indonesia masih mencapai 35 hingga 37 derajat Celsius. Titik tertinggi terpantau di Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), Kupang (NTT), dan Majalengka (Jawa Barat), dengan suhu maksimum harian mencapai 36,8°C pada 12 Oktober lalu. Akan tetapi, kondisi panas ekstrem itu mulai berangsur mereda seiring meningkatnya kelembapan udara dan munculnya potensi hujan di beberapa daerah.
Kepala
BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa fenomena panas yang terjadi
disebabkan oleh peralihan posisi semu matahari ke belahan bumi selatan. “Saat
ini posisi semu matahari bergerak ke selatan dan menyebabkan peningkatan
intensitas radiasi matahari di wilayah selatan ekuator. Hal ini wajar terjadi
pada periode peralihan musim dari kemarau ke hujan,” ujar Dwikorita seperti
dikutip dari laman resmi BMKG, Jumat (24/10/2025).
Kondisi
atmosfer yang semakin lembap juga dikonfirmasi oleh hasil monitoring global.
Menurut data Climate Prediction Center (NOAA, 2025), Indeks Dipole Mode (DMI)
menunjukkan nilai negatif sebesar -0,67, menandakan meningkatnya pasokan uap
air dari Samudra Hindia bagian barat menuju Indonesia. Hal ini memperkuat
potensi terbentuknya awan konvektif dan curah hujan tinggi dalam beberapa
minggu ke depan.
Sejumlah
wilayah yang berpotensi mengalami curah hujan tinggi meliputi Sumatera bagian
tengah dan selatan, Jawa bagian barat dan tengah, Kalimantan bagian barat,
serta Sulawesi bagian utara. BMKG juga meminta pemerintah daerah untuk
menyiapkan langkah antisipatif terhadap potensi bencana hidrometeorologi
seperti banjir dan longsor.
“Pemerintah
daerah diimbau memperbarui sistem peringatan dini, membersihkan saluran air,
dan memastikan kesiapan infrastruktur menghadapi perubahan cuaca yang cepat,”
kata Dwikorita menegaskan.
Atmosfer yang mulai lembap dan suhu ekstrem berangsur turun, tanda-tanda musim hujan telah nyata di depan mata. Indonesia kini berada dalam fase penting peralihan musim masa di mana keseimbangan antara kesiapsiagaan terhadap cuaca ekstrem dan optimalisasi sumber daya air menjadi kunci menghadapi perubahan iklim yang semakin tidak menentu.
Penulis: Syafrial A.



Posting Komentar