Lentera Biru, (25/10). Kasus penyitaan sejumlah buku oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur pada September 2025 memicu perdebatan publik tentang posisi negara terhadap kebebasan berpikir. Menurut laporan CNN Indonesia, aparat menyita sebelas buku dari beberapa orang yang ditangkap setelah demonstrasi di Surabaya dan Sidoarjo yang berujung ricuh pada akhir Agustus. Buku-buku itu sebagian berisi teori sosial dan filsafat, termasuk karya Karl Marx dan Franz Magnis Suseno. Kepolisian menjelaskan bahwa penyitaan dilakukan semata-mata untuk kepentingan penyelidikan, bukan karena isi buku dianggap berbahaya. Penjelasan itu justru menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam. Mengapa buku yang seharusnya menjadi simbol pengetahuan dan kebebasan berpikir, dapat berubah status menjadi barang bukti dalam perkara pidana? Kritik datang dari berbagai pihak. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mempertanyakan dasar hukum tindakan tersebut dan menilai langkah aparat sebagai bentuk kriminalisasi terhadap wacana kritis, seperti yang dikutip dari Bisnis.com. Sementara itu, komunitas literasi di Surabaya menggelar aksi simbolik bertajuk “Surabaya Bukan Fahrenheit 451” sebagai bentuk penolakan terhadap praktik yang dianggap mengancam kebebasan membaca, sebagaimana diberitakan oleh Ngopibareng.id.
Polda Jatim kemudian mengembalikan 39 buku
yang sempat disita dan menegaskan bahwa buku-buku tersebut tidak memiliki
kaitan dengan tindak pidana apa pun, sebagai tanggapan atas kritik dari publik.
Hal ini disampaikan melalui laporan TribrataNews, Polda Jatim, dan IDN
Times Jatim. Secara administratif, masalah ini memang telah diselesaikan.
Namun di luar urusan prosedural, peristiwa tersebut menyisakan pertanyaan yang
lebih mendalam mengenai hubungan antara negara, kekuasaan, dan pengetahuan.
Fenomena ini memperlihatkan bentuk baru
dari kontrol ideologis di masyarakat modern. Kita memang tidak lagi hidup di
masa ketika buku dibakar atau penulis diasingkan. Kini, pembatasan hadir dalam
bentuk yang lebih halus, yaitu melalui prosedur, administrasi, dan alasan yang
tampak rasional. Surat perintah, tanda tangan, dan dalih penyelidikan
menggantikan larangan yang disampaikan secara terbuka.
Hannah Arendt pernah memperkenalkan istilah banality of evil atau banalitas kejahatan, untuk menjelaskan bagaimana kekejaman bisa lahir bukan dari kebencian, melainkan dari kepatuhan yang dijalankan tanpa berpikir. Kekuasaan yang menindas sering kali tidak tampak kejam, justru karena dijalankan oleh orang-orang yang sekadar mengikuti aturan. Di masa sekarang bentuknya mungkin berbeda, bukan lagi banalitas kejahatan, melainkan banalitas ketakutan. Sebuah rasa takut yang tumbuh diam-diam di balik meja administrasi, di antara berkas laporan dan tanda tangan. Tidak ada niat jahat, tetapi ketaatan yang berlebihan membuat rasa takut terhadap ide menjadi hal yang dianggap wajar.
Jika Arendt menyoroti sisi moral dari ketaatan yang membutakan nalar, Michel Foucault membantu kita memahami bagaimana mekanisme kekuasaan membuat ketaatan itu tampak masuk akal. Kekuasaan modern tidak perlu melarang atau membungkam dengan keras. Ia bekerja dengan cara yang lebih halus, mengatur alur kebenaran, menentukan siapa yang layak didengar, dan gagasan mana yang boleh beredar. Ketika pola seperti ini berjalan terus-menerus, penyitaan buku bukan lagi tampak sebagai tindakan politik, melainkan sebagai bagian dari rutinitas hukum. Negara tidak perlu menakut-nakuti warganya, cukup menciptakan suasana di mana banyak orang merasa lebih aman bila diam atau membaca hal-hal yang tidak berisiko. Ketakutan yang tumbuh dari dalam diri semacam inilah yang paling sulit dilawan, karena manusia belajar menyensor pikirannya sendiri tanpa paksaan siapa pun.
Dampak paling serius dari banalitas ketakutan adalah merosotnya imajinasi moral. Arendt menyebut berpikir sebagai tindakan moral yang paling mendasar, yakni proses berdialog dengan diri sendiri untuk menimbang dan bertanggung jawab atas keputusan. Ketika masyarakat lebih mengutamakan ketertiban daripada kebebasan berpikir, kemampuan untuk menilai, berempati, dan menimbang kebenaran akan perlahan memudar.
Kasus penyitaan buku di Surabaya menunjukkan gejala itu dengan jelas. Ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga persoalan keberanian intelektual. Ketika membaca harus dijustifikasi, peradaban kehilangan dasarnya, yaitu kepercayaan bahwa ide dapat membawa kebaikan. Keberanian untuk membaca menjadi tindakan etis, membaca berarti membuka diri terhadap gagasan yang menantang kebiasaan dan menumbuhkan keberanian untuk berpikir sendiri. Negara modern seharusnya memandang buku bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai ruang dialog bagi nalar publik. Kebebasan berpikir tidak bisa dijaga hanya dengan peraturan, tetapi dengan kebiasaan warga yang berani berpikir. Ketika administrasi berubah menjadi alat ketakutan, imajinasi menjadi bentuk perlawanan paling halus. Di tengah ketertiban yang terasa mencekik perlahan, mungkin satu-satunya cara untuk tetap merdeka adalah dengan terus membaca, meski pelan dan barangkali sendirian.
Penulis: Isa Firdaus



Posting Komentar