Ilustrasi AI |
Lentera Biru, (02/08). Indonesia
tengah menghadapi gelombang kritik tajam terhadap kredibilitas sistem hukum
nasional. Kasus yang melibatkan selebritas Nikita Mirzani dan pengusaha
kecantikan dr. Reza Gladys menjadi contoh nyata potret buram tersebut. Ketika
selebritas dan pebisnis berhadapan dengan hukum, proses penegakan yang
berlangsung justru memunculkan pertanyaan mendasar sejauh mana hukum di negeri
ini bisa berdiri tegak tanpa terpengaruh status sosial dan tekanan publik? Esai
ini mengupas bagaimana kasus tersebut mencerminkan kelemahan sistem hukum
Indonesia, baik dari sisi substansi aturan maupun prosedur penegakannya.
Kronologi kasus ini berawal dari
dugaan bahwa Nikita Mirzani menjelek‑jelekkan produk skincare milik dr. Reza
Gladys melalui siaran langsung TikTok. Setelah peristiwa itu, Reza diketahui
mentransfer total Rp 4 miliar kepada Nikita, sebelum akhirnya melapor ke polisi
pada 3 Desember 2024. Awal 2025, Nikita bersama asistennya ditetapkan sebagai
tersangka dan dijerat pasal yang menyertakan unsur Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU), dengan ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara. Penahanan dimulai pada
4 Maret 2025 selama 20 hari. Nikita membantah keras tuduhan itu, menegaskan
bahwa uang yang diterimanya adalah pembayaran endorsement, bukan hasil
pemerasan. Ia bahkan menyebut dakwaan Jaksa Penuntut Umum “halusinasi”, karena
tidak mempertimbangkan motif dan konteks pemberian uang yang ia klaim bersifat
komersial.
Perjalanan kasus ini menyingkap
berbagai masalah mendasar dalam sistem hukum kita. Salah satu kritik utama
adalah kesan tebang pilih dalam penegakan hukum. Nikita, sebagai figur publik,
mendapat sorotan dan proses hukum yang berjalan sangat cepat. Sementara itu,
kasus serupa yang melibatkan masyarakat biasa kerap berakhir tanpa penahanan
atau bahkan tidak pernah mencapai meja hijau. Fenomena ini menguatkan persepsi
publik bahwa hukum di Indonesia masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah, di
mana perlakuan terhadap pihak-pihak yang memiliki nama besar atau jaringan
sosial tampak berbeda dibandingkan dengan warga biasa.
Masalah lain muncul pada aspek
legalitas bukti yang digunakan. Kuasa hukum Nikita menuding sebagian rekaman
dan bukti digital yang diajukan bersifat ilegal. Ketidakpastian ini menambah
kerumitan kasus, karena proses penahanan berlangsung tanpa kepastian tuntutan
yang solid. Dalam kacamata hukum, kondisi ini jelas mencederai asas kepastian
hukum yang seharusnya menjadi pilar utama perlindungan hak warga negara.
Selain itu, kegagalan mediasi juga
menyoroti kelemahan dalam penerapan prinsip keadilan restoratif. Upaya mediasi
yang difasilitasi justru kandas karena pihak pelapor memilih diwakili kuasa
hukum dan tidak hadir secara langsung. Padahal, untuk kasus yang diwarnai unsur
kontrak bisnis dan publikasi endorsement, penyelesaian di luar jalur pidana
semestinya bisa menjadi prioritas. Fakta bahwa mediasi berujung buntu
menunjukkan minimnya komitmen dalam mencari jalan tengah yang adil bagi kedua
belah pihak.
Krisis akuntabilitas aparat penegak
hukum juga menyeruak di tengah kontroversi ini. Muncul pertanyaan dari
masyarakat apakah aparat, jaksa, dan hakim benar-benar bekerja berdasarkan alat
bukti yang sah, ataukah keputusan mereka dipengaruhi oleh sorotan media dan
opini publik yang berisik?
Mahfud MD pernah menegaskan bahwa
integritas hukum tidak cukup hanya dengan regulasi yang tebal, tetapi
ditentukan oleh moral dan keberanian personal aparat untuk tidak tunduk pada
tekanan kekuasaan maupun kepentingan eksternal.
Jika ditelaah lebih dalam, kasus ini
mengilustrasikan bagaimana hukum seringkali berubah menjadi instrumen
kekuasaan, bukan instrumen keadilan. Ketika status sosial, relasi politik, dan
popularitas ikut mewarnai proses hukum, publik semakin yakin bahwa hukum di
Indonesia masih bisa dinegosiasikan. Dari konteks bisnis dan dunia influencer,
garis batas antara endorsement dan pemerasan pun tampak kabur. Uang Rp 4 miliar
yang dikirim Reza kepada Nikita seharusnya bisa ditafsirkan sebagai transaksi
bisnis yang dapat diuji lewat kontrak dan bukti kerja sama. Namun, proses
pidana justru dijadikan jalan utama, didukung pasal-pasal karet seperti ITE
yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi pihak tertentu.
Dampak sosial dari kasus ini tidak
bisa diabaikan. Penahanan figur publik selalu membawa konsekuensi psikologis
yang berat, tidak hanya bagi tersangka, tetapi juga keluarga. Nikita, yang
berstatus ibu tunggal, mengalami tekanan mental yang berlipat ganda, sementara
anak-anaknya merasakan trauma akibat keterbatasan untuk bertemu sang ibu. Lebih
luas lagi, kepercayaan publik terhadap lembaga hukum kembali tergerus. Banyak
warga merasa bahwa laporan mereka hanya akan diproses jika viral di media
sosial, sedangkan kasus yang tidak mendapat sorotan publik bisa mandek tanpa
kejelasan.
Berangkat dari potret suram ini, ada
beberapa hal mendesak yang perlu dilakukan. Transparansi dalam penyidikan dan
persidangan harus diperkuat, terutama menyangkut legalitas bukti digital yang
menjadi dasar tuduhan. Perlakuan setara juga harus ditegakkan; hukum tidak
boleh lagi tunduk pada popularitas atau status sosial. Di sisi lain, mekanisme
alternatif seperti mediasi bisnis dan restorative justice perlu dihidupkan,
sehingga kasus yang bermula dari sengketa kontrak tidak selalu bermuara pada
kriminalisasi. Lebih jauh lagi, reformasi struktural di tubuh kepolisian dan
kejaksaan mutlak dilakukan untuk memastikan independensi dari campur tangan
politik dan tekanan publik.
Kasus
Nikita Mirzani dan dr. Reza Gladys pada akhirnya menjadi cermin yang
memantulkan wajah buram hukum Indonesia. Sistem yang seharusnya menjamin
keadilan justru tampak rapuh, ambigu, dan cenderung diskriminatif. Jalan keluar
satu-satunya adalah reformasi hukum yang menyentuh akar permasalahan, budaya
hukum yang lemah, aparat yang rentan intervensi, dan mekanisme penegakan yang
belum berpihak pada kepastian dan kesetaraan. Tanpa langkah serius dan
sistemik, potret buram ini hanya akan menjadi pengingat pahit bahwa di negeri
ini, hukum sering kali bukan panglima, melainkan alat yang bisa dibengkokkan
sesuai kepentingan.
Penulis : Dennia Shinenauky Niza
Posting Komentar