no fucking license

Archive

Middle

Lorem lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed tempor and vitality, so that the labor and sorrow, some important things to do eiusmod. For now passes from soccer.
64y6kMGBSVhmzQfbQP8oc9bYR1c2g7asOs4JOlci

Recent

Bookmark

Konten Baperisasi dan Metabolisme Pergerakan yang Kurang Waras


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sejak awal berdirinya dikenal sebagai jawaban atas kebutuhan akan adanya wadah kaderisasi intelektual mahasiswa Nahdlatul Ulama (NU) di perguruan tinggi, sekaligus respon atas berlangsungnya gunjang-ganjing penyelewengan kekuasan pada masa Orde Baru. PMII sebagai ruang latihan kepemimpinan dan laboratorium gagasan mendikte bagi segenap kader-kader didalamnya untuk belajar membaca, menyusun argumen, menguji keberanian intelektual, sekaligus memang harus. Namun belakangan ini, wa bil khusus Rayon Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, jelas disorientasi semangat jamannya, saat ruang kaderisasi yang dahulu dikenal sebagai arena pembentukan paradigma kritis kini beralih menjadi panggung performatif. Konten yang lahir bukan lagi esai atau review kajian, tapi video pendek, pose estetik menampilkan kecantikan-kecantikan yang diekploitasi, dan joget ala media sosial. Sebut saja “baperisasi kader”: gejala baru di mana orientasi emosionalitas visual dan popularitas digital menggeser tradisi produktivitas ilmiah dan analisis kritis, sampeyan ya cantik-cantik dan ganteng-ganteng, tapi nyaris.

Istilah Baperisasi, kalau penulis komper dengan teori sosial meminjam istilah fenomena yakni komodifikasi simbolik, suatu istilah yang ditengahkan Pierre Bourdieu dalam Distinction dan Outline of a Theory of Practice, Bourdieu menyebut adanya berbagai jenis modal yakni, modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Baperisasi konten tiktok mancing kader ini punya nilai yang dekat dengan istilah Bourdieu yakni dengan modal simboliknya berupa pengakuan, status, atau prestise sering kali lebih kuat pengaruhnya daripada modal material. Kecantikan misalnya atau gaya berpakaian dan joget yang viral di media sosial adalah bentuk modal simbolik baru yang banyak di organisasi mahasiswa, modal yang lebih diakoni dan dihargai daripada modal budaya yang entah itu kajian, mampu menganalisis dengan kritis minimal kalau di RUF rayon Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya sahabat-sahabati mampulah membedakan mana teori dan mana doktrin, kalau ndak mampu lambaikan tangan.

Sekaliber Judith Butler, tentu sahabat ndak kenal, menggeltik kiranya kalau dibaca istilah performativitasnya istilah yang memotret bagaimana identitas ndak pernah alami begitu saja, identitas selalu dibentuk oleh tindakan yang diulang-ulang. Ya kalau mengkomper joget-joget alay-alay apalagi kader putri yang tampil cantik, bohay, apalagi joget-joget alay. “Dek, eman lo kecantikan mu, mbok ya taruh di mimbar-mimbar akademik gitu lo” Takut kalau nanti konten-konten itu diterima sebagai bagian dari standar kaderisasi.

Ayolah kilas balik adanya organisasi mahasiswa tentu menunjukkan betapa pentingnya basis intelektual. Gie, misalnya, jelas Gie bukan kader PMII, tentu mahasiswa mana yang tak kenal Gie, simbol mahasiswa kritis seorang kritikus sekaligus kolumnis tajam, kritiknya selalu dilayangkan pada kekuasaan yang menindas, dan kemunafikan sosial. Dalam catatan hariannya ia menyebut, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Kutipan yang menyiratkan bahwa menjadi aktivis mahasiswa bukanlah soal panggung pencitraan.

Kefrustasian makna, di kalangan kader-kader pergerakan, kerap semakin parah ketika mitos-mitos pergerakan dan pengetahuan instan dijadikan mantra oleh mereka sendiri. Semisal, sahabat-sahabat sedang merancang sebuah gerak besar yang diharapkan membawa kepentingan bersama, namun dalam praktiknya, kepentingan itu kandas oleh kesadaran praktis yang telah mendarah daging dalam diri para kader. Terlebih lagi, kita yang berinisiatif menyiapkan perubahan itu bukanlah figur besar yang disegani di lingkungan kader sendiri, bahkan sering kali kita tak sepenuhnya memahami “siapa” sesungguhnya kader-kader yang kita dampingi.

Ironisnya, kita terus-menerus menyusun agenda perubahan yang megah sambil diam-diam pasrah menunggu gelombang internal menghantam. Karena hanya sedikit yang memiliki metabolisme pergerakan yang sehat maka lahirlah penyakit dalam tubuh pergerakan. Penyakit yang membuat banyak kader merasa malas, sinis, atau enggan bersungguh-sungguh lebih-lebih nyaman berputar pada ritus simbolik dan pencitraan daripada mengolah gagasan dan menempanya menjadi gerak yang nyata.

Secara struktural, baperisasi kader mengandung risiko serius. Pertama, reduksi fungsi kaderisasi. Kalau estetika dan standarisasi tiktok yang jadi tolak ukur, fungsi ne sampeyan sebagai mahasiswa nggeh nopo, mbok yo bedakno mana mahasiswa mana selebgram. Kedua,Eksploitasi kecantikan saat kecantikan dijadikan komoditas yang dipasarkan demi popularitas organisasi. Ini menciptakan stratifikasi internal: kader yang “cantik” atau atraktif kliyat-kliyut seperti cacing dimedia sosial mendapat perhatian lebih misalnya, mungkin juga akses kepemimpinan lebih terbuka cantik doang tapi tolol.

Wa bil khusus sahabat-sahabat PMII Rayon Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya, yang dihadapkan dengan persimpangan modern sampeyan-sampeyan mungkin indah, elok dimata, senyum sampeyan apalagi menawan, tetapi otak sampeyan jauh lebih berharga daripada semua itu. Jangan biarkan dunia maya menjadikan sampeyan sekadar penonton tren.

Kalau ada mas-mas sahabat yang ikutan, sudah dipastikan jarang dimimbar-mimbar kajian.

Wallahu A’lam Bishowwab

Posting Komentar

Posting Komentar